Berita

Partai Politik Teriak MK Curi Kedaulatan: Ini Bukan Kritik, Ini Maling Teriak Maling
Berita Terbaru

Partai Politik Teriak MK Curi Kedaulatan: Ini Bukan Kritik, Ini Maling Teriak Maling

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Dalam hiruk-pikuk politik belakangan ini, kita mendengar teriakan lantang dari sejumlah partai politik yang menuduh Mahkamah Konstitusi (MK) telah “mencuri kedaulatan rakyat” terkait putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah. Mereka menyebut MK lalai dan telah mengebiri hak-hak rakyat.

Sekilas, tuduhan itu terdengar heroik, seolah-olah partai politik adalah pembela sejati kedaulatan rakyat. Namun, jika kita bedah lebih dalam, justru inilah puncak ironi demokrasi kita: maling teriak maling.

Cak Nun pernah berkata:

"Semua parpol itu kerajaan, dan kerajaan terbesar adalah kerajaan Bung Karno. PDIP itu anak atau cucunya Bung Karno, itu kerajaan bukan Republik sama sekali. Itu bukan partai modern. Keputusan PDIP, ya tetap Megawati. Demikian juga Kerajaan SBY. Keputusannya ada di SBY. Maka Hary Tanoe bikin kerajaan. Kan begitu, semua bikin kerajaan sekarang."

Inilah akar masalah kita. Di atas kertas, Indonesia adalah negara Kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 ayat 1 UUD 1945). Republik berarti kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan diwariskan atau dikuasai oleh satu keluarga atau elite tertentu.

Namun, pada praktiknya, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyebut “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” telah berubah menjadi jebakan formalisme. Kalimat “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” membuat kedaulatan rakyat seakan menjadi benda mati, diwakilkan dan disalurkan melalui sistem yang dikuasai partai politik.

Kenyataannya, rakyat hanya memiliki kedaulatan secara simbolik, tetapi tidak benar-benar menguasainya. Rakyat sekadar dijadikan ladang suara, lalu ditinggalkan setelah pemilu usai.

Apa Sesuai dengan UUD 1945?

Lihat saja Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 Amandemen Keempat: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Di sinilah letak kelicikan sistem. Partai politik menjadi satu-satunya pintu bagi rakyat untuk “memilih” pemimpinnya. Faktanya, calon presiden bukan lagi murni kehendak rakyat, tapi hasil transaksi elite partai.

Selain itu, dalam UUD 1945 asli disebutkan jelas bahwa kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Sayangnya, dalam amandemen keempat, penjelasan ini dihapus. Akibatnya, presiden memiliki kekuasaan yang nyaris absolut, apalagi didukung dan dikendalikan oleh partai politik yang mengusungnya.

Ketika partai politik hari ini berteriak bahwa MK mencuri kedaulatan rakyat, sesungguhnya merekalah para pencuri utama kedaulatan rakyat selama ini. Mereka yang mengatur siapa boleh maju, siapa yang harus mundur. Mereka yang membangun dinasti, menciptakan “kerajaan-kerajaan mini”, dan memonopoli panggung politik.

Cak Nun menyebut partai politik sebagai kerajaan mini yang memperalat rakyat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Parpol menjual mimpi kesejahteraan, padahal tujuannya hanya satu: menjaga tahta, melestarikan kerajaan mereka.

Rakyat yang seharusnya menjadi pancer (pusat), justru digeser menjadi figuran. Bahkan, dalam praktiknya, rakyat dipaksa setia pada simbol-simbol partai, bukan pada nilai kedaulatan yang sejati.

Inilah sebabnya kita memerlukan reformasi ketatanegaraan total.
Reformasi bukan sekadar mengganti wajah, bukan hanya memperbaiki prosedur, tetapi mengembalikan substansi kedaulatan rakyat seutuhnya.

Reformasi yang berlandaskan Konstitusi Langit, gagasan Cak Nun yang menempatkan rakyat sebagai pusat seluruh struktur negara, bukan hanya sebagai alat legitimasi. Konsep ini menuntut pemurnian kembali relasi antara rakyat, negara, dan kekuasaan, agar tidak lagi dikooptasi oleh kerajaan-kerajaan politik.

Sampai kapan kita akan terus membiarkan rakyat dijadikan tameng? Sampai kapan rakyat terus menjadi ladang eksploitasi suara?

Partai politik yang berteriak “MK mencuri kedaulatan rakyat” pada hakikatnya sedang berteriak pada bayangannya sendiri. Karena merekalah yang selama ini paling rajin menguras, merampas, dan mengkhianati kedaulatan rakyat.

Mari kita kembali menegakkan semangat Republik yang murni: kedaulatan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Bukan kedaulatan untuk “kerajaan mini” berkedok partai politik.