beritax.id - Saya seringkali termenung, bukan karena tugas kuliah atau tekanan pekerjaan, melainkan karena pertanyaan yang makin hari makin sulit dijawab: “Kenapa negara yang begitu kaya seperti Indonesia justru terasa begitu berat untuk ditinggali oleh rakyat sendiri?”
Pertanyaan ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari data, dari laporan resmi lembaga negara, dari berita yang menghiasi layar ponsel setiap hari, dan dari kenyataan pahit yang saya lihat dan dengar dari orang-orang di sekitar saya.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) terbaru menyebut bahwa 19,8% anak Indonesia mengalami stunting satu dari lima anak tumbuh dengan gizi buruk yang berdampak permanen pada masa depannya. Ini bukan hanya statistik. Ini adalah potret generasi masa depan yang terancam kehilangan hak paling dasar: tumbuh dengan sehat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 78 ribu anak putus sekolah pada 2023/24. Dan pada Februari 2025, angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83.440 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih menyakitkan lagi, data dari World Bank (Juni 2025) memperlihatkan:
Angka-angka ini bukan milik negara miskin di Afrika sub-Sahara. Ini adalah data tentang Indonesia negeri dengan cadangan nikel terbesar dunia, penghasil batu bara, minyak, emas, kelapa sawit, dan kekayaan laut tak terhingga. Tapi mengapa rakyatnya tak ikut sejahtera?
Alih-alih menjawab krisis ini dengan keberpihakan, kita justru melihat bagaimana kebijakan negara berjalan menjauh dari nalar keadilan sosial. Tahun 2025 dihiasi dengan berbagai skandal pemborosan dan dugaan korupsi yang mencederai rasa keadilan publik:
Sudah ada Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara. Tapi semua itu hanya selembar kertas jika pengawasan dan penegakan hukumnya lemah.
Kekecewaan saya semakin dalam ketika menyaksikan bagaimana rakyat kecil justru menjadi korban dari sistem perpajakan yang tidak berpihak:
Di saat UMKM diburu dengan tagihan, korporasi besar dan institusi negara justru terbebas dari sanksi moral maupun hukum atas pemborosan dan penyalahgunaan dana publik. Sistem keadilan fiskal menjadi timpang, bahkan menindas.
Namun yang lebih menyakitkan: ketika rakyat menderita, pemangku kebijakan justru bersiap menaikkan beban.
Apakah para pengambil kebijakan ini tidak menyadari bahwa rakyat sedang bertahan hidup, bukan menumpuk kekayaan?
Saya hanya rakyat biasa. Seorang mahasiswa hukum. Seorang pekerja kantoran. Saya tidak memiliki kekuasaan. Tapi saya memiliki suara dan saya ingin suara ini didengar.
Saya ingin mengingatkan bahwa sejarah telah mencatat bagaimana runtuhnya Orde Baru bukan hanya soal politik, tetapi juga soal perut. Kelaparan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial adalah bahan bakar bagi ledakan rakyat.
Apakah kita harus menunggu Reformasi Jilid Dua terjadi baru para pejabat tersadar?
Apakah rakyat harus kembali turun ke jalan hanya agar suara mereka didengar?
Saya tidak sedang mengajak pemberontakan. Saya mengajak kita semua para pembaca, pemimpin, wartawan, dan warga biasa untuk berpikir ulang tentang arah bangsa ini.
Apakah kita masih berjalan menuju keadilan sosial seperti tertulis dalam Pancasila? Atau sudah menyimpang terlalu jauh?
Saya menulis ini bukan karena benci pada Indonesia. Justru karena saya mencintainya. Karena saya percaya negeri ini bisa lebih baik. Karena saya ingin anak-anak Indonesia tumbuh sehat, belajar tanpa takut putus sekolah, dan punya masa depan yang layak.
Kita butuh negara yang hadir, bukan yang menyakiti.
Kita butuh pemimpin yang mendengar, bukan yang membebani.
Kita butuh keadilan, bukan statistik yang membius.
Dan selama itu belum ada, suara seperti ini akan terus bergema.