beritax.id — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menyoroti pentingnya keterlibatan publik dalam proses legislasi nasional. Wakil Ketua Komisi III DPR, Sari Yuliati, menyebut partisipasi rakyat sebagai komponen utama dalam pembentukan undang-undang (UU) yang adil dan demokratis.
Ia menilai bahwa keterlibatan rakyat bukan hanya prosedur, tetapi bagian dari prinsip tata kelola yang baik alias good governance yang wajib dijaga. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga mengatur hak masyarakat untuk terlibat, namun implementasi di lapangan dinilai masih minim.
Sari menyoroti masih banyaknya undang-undang yang menuai protes publik karena minimnya keterlibatan masyarakat sejak awal proses. Bahkan UU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dinilai mengabaikan aspirasi kritis dari masyarakat sipil.
Ia menekankan perlunya partisipasi bermakna (meaningful participation) di setiap tahapan legislasi, termasuk tahap pengajuan, pembahasan, dan persetujuan akhir. “Tanpa keterbukaan, partisipasi hanya jadi formalitas,” tambahnya.
Partai X: Demokrasi Tak Bisa Dibangun dengan Sidang-Sidang Sunyi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai pernyataan DPR sebagai ironi. “Rakyat selalu diajak ikut, tapi undang-undangnya sudah disepakati diam-diam,” tegasnya.
Menurut Partai X pemerintah seharusnya bukan hanya memproduksi hukum, tetapi menghidupkan keadilan yang lahir dari suara rakyat sendiri.
Partisipasi rakyat tidak cukup diwujudkan dalam dengar pendapat tertutup, tetapi harus dibangun melalui ruang deliberatif yang luas dan terbuka.
Prinsip dan Solusi Partai X: Hukum untuk Rakyat, Bukan Sebaliknya
Partai X menilai bahwa UU seharusnya tidak hanya tunduk pada prosedur formil, tetapi juga pada legitimasi moral rakyat. Berikut solusi Partai X:
Partai X menyatakan bahwa partisipasi rakyat bukan basa-basi konstitusional. Tanpa mendengar rakyat sejak awal, maka semua proses pembentukan UU hanyalah ilusi deliberasi.
“Jika rakyat hanya ditanya saat semuanya selesai, itu bukan demokrasi itu pengesahan kekuasaan,” tegas Rinto.
Negara harus kembali ke ruh konstitusi: hukum dibuat bukan untuk melindungi kekuasaan, tetapi untuk membela rakyat.