Berita

Pengadilan Pajak: Antara Supremasi Hukum dan Keadilan yang Terabaikan
Berita Terbaru

Pengadilan Pajak: Antara Supremasi Hukum dan Keadilan yang Terabaikan

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Senin, 27 Oktober 2025, saya kembali hadir di ruang sidang online Pengadilan Pajak. Kali ini bukan sebagai penonton, melainkan mendampingi anggota kami, CV Rose Selular, dalam perkara banding pajak terhadap Direktur Jenderal Pajak atas sengketa SKP dan STP tahun pajak 2019.

Sebuah sidang yang semestinya menjadi ruang mencari kebenaran, justru menyingkap wajah dingin dari lembaga yang mengaku menegakkan hukum, tapi melupakan rasa keadilan.

Ketika Permohonan Keadilan Ditolak Berkali-kali

Kasus CV Rose Selular sederhana mereka hanya ingin menghadirkan ahli secara tatap muka (onsite) dalam sidang. Permohonan ini bukan tanpa dasar, melainkan berlandaskan Pasal 15 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER-1/PP/2023, yang jelas memberi ruang bagi majelis untuk menentukan pelaksanaan sidang onsite.

Namun apa yang terjadi? Permohonan itu ditolak. Bukan sekali, tapi tiga kali.
Surat demi surat dikirim—28 Agustus, 8 September, dan terakhir 20 September 2025, semuanya berujung pada penolakan tanpa alasan yang substansial. Majelis yang dipimpin oleh Muhammad Hanif Arkanie, dengan anggota Rahmaida dan Rusdi Yanis, menolak seluruhnya tanpa memberi alternatif yang memudahkan pihak pemohon.

Kami sempat menanyakan tata cara pelaksanaan sidang online jika harus menghadirkan ahli melalui video. Tak ada pedoman, tak ada petunjuk, tak ada solusi. Hanya kalimat dingin: “Permohonan ditolak.”

Seolah-olah, bagi majelis, prosedur lebih penting daripada substansi; hukum lebih tinggi dari keadilan.

Keadilan yang Tergantung di Udara

Dalam sidang terakhir, suasana berubah ganjil. Terbanding yaitu Direktorat Jenderal Pajak. bahkan tidak diberikan kesempatan bicara. Komunikasi hanya berlangsung antara Pemohon dan Majelis. Tapi alih-alih transparansi, yang terasa justru dominasi sepihak.

Keadaan ini menimbulkan kesan kuat bahwa Pengadilan Pajak bukan lagi forum mencari kebenaran, melainkan ruang formalitas yang steril dari empati.

Kami bertanya dalam hati: apakah supremasi hukum yang dijunjung tinggi itu masih menyisakan tempat untuk supremasi keadilan?

Refleksi dari Cak Nun: Hukum Tanpa Nurani Adalah Kekosongan

Kegelisahan saya ini sebenarnya telah lama diramalkan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Beliau berkata,

“Kita saat ini baru mengenal satu supremasi, yakni supremasi hukum. Padahal hukum hanya satu bagian saja. Supremasi hukum itu cara berpikir penegak hukum. Sementara yang berlaku di masyarakat adalah supremasi moral. Kalau di tengah jalan kita melihat seorang anak kelaparan dan tidak menolongnya, secara hukum kita tidak salah. Tapi secara moral, kita telah melakukan kesalahan.”

Cak Nun juga mengingatkan bahwa hukum dibuat karena manusia saling curiga, bukan karena mereka saling percaya. Maka, di tangan orang yang tidak berjiwa adil, hukum berubah menjadi alat, bukan cahaya.

Dan saya menyaksikan sendiri bagaimana kebenaran substantif dikalahkan oleh tafsir administratif. Seorang pengusaha kecil seperti CV Rose Selular tidak mencari kemenangan mutlak, mereka hanya ingin ruang bicara yang adil, ruang klarifikasi yang manusiawi.

Lagu Cak Nun yang Nyata di Ruang Sidang

“Ya ampun lumpuh hukumnya,
tetapi angkuh sikapnya.
Ya ampun remeh karakternya,
ya ampun kerdil mentalnya…”

Lirik itu seolah ditulis untuk menggambarkan suasana persidangan kami. Di balik toga, di balik palu, ada wajah-wajah yang kehilangan rasa malu pada keadilan.
Hukum ditegakkan dengan tegas, tapi tanpa hati.

Padahal, dalam sumpah jabatannya, hakim pengadilan pajak berjanji setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Sila kedua menuntun mereka untuk memperlakukan manusia dengan harkat dan martabatnya, sedangkan sila kelima memerintahkan agar mereka menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak orang lain.

Namun apa artinya sumpah jika keadilan diperlakukan seperti formalitas administratif belaka?

Pendapat Ahli: Apa Susahnya Memberi Kesempatan?

Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I),
Dr. Alessandro Rey Nearson, menyatakan:

“Apa ruginya majelis hakim memberi kesempatan Penggugat menghadirkan ahli secara onsite? Bukankah Pengadilan Pajak ini harus memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi menyentuh jantung persoalan.
Apakah lembaga ini dibangun untuk mempermudah rakyat mencari keadilan, atau justru untuk membuktikan bahwa rakyat memang tak akan pernah bisa melawannya?

Menutup dengan Rasa Malu dan Harapan

Sebagai Ketua Umum IWPI, saya tidak menulis ini dengan amarah, tapi dengan keprihatinan. Karena di balik semua istilah hukum, peraturan, dan mekanisme digitalisasi, ada manusia yang menunggu keadilan dengan sabar.

Saya percaya, hukum tanpa keadilan hanyalah teks mati.
Dan pengadilan yang kehilangan rasa malu kepada nurani, cepat atau lambat akan kehilangan kepercayaannya di mata rakyat.

Keadilan tidak bisa ditunda.
Karena rakyat bukan menuntut kemenangan, tapi pengakuan atas kebenaran.