Berita

Manajemen Negara yang Tersesat: Presiden Jadi HRD, Birokrasi Tanpa Arah
Berita Terbaru

Manajemen Negara yang Tersesat: Presiden Jadi HRD, Birokrasi Tanpa Arah

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Negara yang Semakin Gemuk, tapi Tidak Gesit

Ketika sebuah organisasi terlalu banyak memiliki manajer, sementara arah strategisnya kabur, maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan kekacauan. Begitulah kira-kira wajah pemerintahan kita hari ini. Dengan 7 Menteri Koordinator, 42 Menteri, dan 10 pejabat setingkat menteri, total 59 pejabat di bawah satu Presiden, struktur manajemen negara menjadi bukan lagi sistem pemerintahan, tetapi birokrasi raksasa tanpa kendali.

Presiden, alih-alih berperan sebagai kepala pemerintahan, kini tampak seperti kepala HRD (Human Resource Director) yang sibuk mengatur posisi, membagi kursi, dan menengahi konflik antar kementerian. Padahal tugas sejatinya bukan membagi jabatan, tetapi memastikan negara berjalan dengan arah dan visi yang jelas.

Teori Manajemen dan “Span of Control” yang Dilanggar

Dalam ilmu manajemen klasik, Henri Fayol menegaskan bahwa efektivitas organisasi bergantung pada span of control, yakni jumlah bawahan langsung yang bisa diawasi secara efektif oleh seorang pimpinan. Studi modern menunjukkan bahwa seorang manajer idealnya membawahi 5–10 unit langsung, tergantung kompleksitas organisasi.

Namun dalam konteks negara, Presiden Indonesia kini membawahi 59 unit eksekutif langsung.
Hal ini tidak hanya tidak efisien, tetapi juga bertentangan dengan prinsip manajemen modern sebagaimana dijelaskan oleh Henry Mintzberg dan Luther Gulick (POSDCORB): ketika jumlah bawahan langsung melebihi batas rasional, maka koordinasi melemah, birokrasi mengeras, dan pengambilan keputusan menjadi tersendat.

Akibatnya, negara tidak lagi bergerak cepat dan terarah, tetapi sibuk dalam rapat koordinasi yang tiada henti. Di atas kertas, sistem ini tampak demokratis dan representatif; dalam praktiknya, ia menjadi labirin kekuasaan yang sulit diaudit.

Negara yang Overstaffed, Rakyat yang Under-Served

Seperti perusahaan yang kelebihan direksi, negara yang memiliki terlalu banyak kementerian justru kehilangan fokus pelayanan. Setiap kementerian membawa ego sektoral, agenda politik, dan target pencitraan masing-masing. Presiden tidak lagi memimpin visi nasional, tetapi menengahi konflik antar menteri mirip manajer SDM yang sibuk mengatur rotasi jabatan, bukan strategi bisnis.

Ironisnya, di tengah struktur yang gemuk ini, pelayanan publik tidak ikut membesar. Justru rakyat semakin sulit mengakses layanan dasar, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, bahkan keadilan. Birokrasi menjadi labirin yang menelan energi bangsa, sementara efisiensi dan inovasi tertinggal di ruang sidang kabinet.

Teori Korporasi dan Negara sebagai Organisasi Pelayanan

Dalam teori corporate governance modern, presiden seharusnya berperan sebagai CEO of the Republic, pemimpin yang fokus pada visi jangka panjang, efisiensi, dan kesejahteraan pemegang saham, yaitu rakyat.
Namun dalam praktik pemerintahan yang terlalu luas span-nya, presiden justru terjebak dalam urusan teknis. Ia menjadi HRD sekaligus manajer konflik politik, bukan kepala pemerintahan yang memimpin transformasi nasional.

Negara idealnya dijalankan dengan prinsip lean management, ramping, cepat, dan berorientasi hasil (result-based governance). Namun dengan 59 posisi di puncak struktur, Indonesia lebih mirip konglomerasi lembaga publik yang penuh tumpang tindih dan inefisiensi.

Banyak kementerian menjalankan fungsi serupa tanpa koordinasi yang efektif, dari ekonomi digital hingga pengentasan kemiskinan. Semuanya bekerja dengan jargon besar, tetapi tanpa arah tunggal yang jelas.

Pelajaran dari Dunia Korporasi: Reorganisasi adalah Keniscayaan

Perusahaan besar dunia seperti Toyota, GE, atau Apple selalu melakukan reorganisasi struktural ketika organisasi mereka mulai kehilangan kecepatan. Mengapa negara tidak bisa?

Sebuah reformasi kelembagaan nasional seharusnya dilakukan:

  • Mengintegrasikan kementerian berdasarkan fungsi dan hasil, bukan kepentingan penguasa.
  • Meniadakan badan-badan yang redundan.
  • Memperkuat sistem koordinasi digital antarlembaga.
  • Dan menegakkan akuntabilitas berbasis kinerja, bukan loyalitas.

Seorang presiden yang memahami prinsip manajemen akan tahu bahwa semakin sedikit struktur di puncak, semakin besar kecepatan di bawah. Negara tidak bisa lagi berjalan dengan logika “pembagian kue kekuasaan.” Rakyat bukan pemegang saham yang bisa diabaikan, mereka adalah pemilik perusahaan bernama Indonesia.

Cak Nun dan Filosofi Pelayanan Publik

Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah berkata,

“Pemerintah itu buruh rakyat, bukan majikan. Mereka digaji rakyat, difasilitasi rakyat, dan diangkat untuk melayani rakyat.”

Pernyataan ini bukan sindiran kosong, tapi teguran filosofis. Ketika presiden dan jajaran eksekutif terlalu sibuk dengan struktur jabatan, mereka lupa hakikatnya: menjadi pelayan rakyat, bukan pemilik kekuasaan.

Filosofi ini sejalan dengan nilai ngawula dan ngayomi dalam budaya Jawa, bahwa pemimpin sejati bukan yang ditakuti, melainkan yang melayani. Dan pelayan yang baik tahu bahwa efisiensi, kesederhanaan, dan ketulusan adalah kunci pelayanan terbaik.

Saatnya Menyusutkan Kekuasaan, Menumbuhkan Pelayanan

Negara yang sehat bukan negara yang gemuk strukturnya, tetapi kuat manajemennya. Presiden harus kembali ke hakikatnya sebagai pemimpin pemerintahan, bukan manajer HRD politik. Kementerian dan badan-badan publik harus disusun dengan rasionalitas manajerial, bukan kepentingan partai.

Saat rakyat membayar pajak dan memberi mandat, mereka tidak sedang membiayai 59 kursi kekuasaan; mereka sedang berinvestasi pada masa depan bangsa. Dan investasi itu akan gagal bila manajemennya gagal paham.

Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah ajakan untuk meninjau ulang sistem manajemen pemerintahan Indonesia dari perspektif manajemen modern dan filosofi pelayanan publik. Negara bukan perusahaan, ia adalah organisasi pelayanan rakyat. Dan di dalamnya, presiden hanyalah manajer yang bekerja bukan raja yang disembah.