Negara ini ada karena rakyat. Dari petani yang mencangkul sawah, nelayan yang menantang badai, buruh yang lembur, sampai pedagang kecil yang diperas pajak. Semua itu adalah sumbangan nyata untuk negara. Tapi apa balasannya? Bukan pendidikan murah, bukan kesehatan gratis, bukan pelayanan publik yang layak. Yang datang malah pajak mencekik, aturan bikin repot, dan janji kampanye yang hanya jadi hiasan baliho.
Ironinya, uang rakyat yang diperas justru mengalir untuk pejabat. Kursi empuk DPR, tunjangan berlapis, perjalanan dinas, proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang. Negara yang seharusnya alat rakyat, berubah jadi ATM pejabat. Pertanyaan sederhana: negara ini milik rakyat atau milik pejabat? Tanpa rakyat, negara tak ada. Tanpa rakyat, pejabat tak punya apa-apa.
Rakyat Berkorban, Pejabat Bermewah-Mewahan
Rakyat bangun subuh, kerja keras, banting tulang demi hidup. Petani berharap panen cukup, buruh kerja lembur demi biaya sekolah anak, pedagang kecil berjuang agar bisa makan. Semua itu pengorbanan nyata.
Tapi, pemerintah yang notabene-nya adalah pelayan rakyat justru duduk di kursi empuk, gaji besar, fasilitas mewah, plesiran ke luar negeri. Saat rakyat bingung beli beras, mereka rapat di hotel berbintang. Saat rakyat antre berjam-jam di puskesmas, mereka masuk rumah sakit VIP dengan biaya negara.
Kontras ini bukan sekadar beda gaya hidup. Ini penghianatan. Karena pejabat seharusnya pelayan, bukan majikan. Tapi yang terjadi: rakyat berkorban, pejabat berpesta. Sampai kapan?
Utang Negara, Beban Generasi Muda
Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Disaat rakyat diperas habis-habisan untuk membayar pajak, negara justru menambah utang. Ironinya, utang itu bukan pejabat yang bayar, tapi ujung-ujungnya rakyat juga yang menanggung, lewat pajak lagi, pajak lagi.
Setiap rupiah utang hari ini tidak pernah hilang. Ia diwariskan. Generasi muda yang tidak pernah menandatangani surat utang itu dipaksa ikut membayar. Caranya? Pajak dinaikkan, subsidi dicabut, dan ruang hidup makin sempit. Jadi meski negara berutang, rakyat yang jadi penjamin.
Pejabat bisa berdalih utang masih aman karena rasionya kecil terhadap PDB. Tapi cicilan bunga dan pokok utang itu pasti, sementara pendapatan negara dari pajak semakin bergantung pada kantong rakyat. Kalau target pertumbuhan meleset, beban lagi-lagi dialihkan: pajak dinaikkan, rakyat dipaksa menutup lubang.
Cak Nun pernah mengingatkan: “Anak muda jangan berutang, karena negara ini dikelola amatiran. Akibatnya nanti anak-anak muda yang disuruh bayar.” Dan benar, generasi muda kini tidak hanya diperas dengan pajak, tapi juga diwarisi beban utang negara.
Inilah lingkaran setan yang menyesakkan, di mana pajak untuk hari ini, pajak lagi untuk membayar utang besok. Negara hidup dari pajak, sementara rakyat makin mati karena pajak.
Pemerintah Harus Jadi Pelayan, Bukan Majikan
Kita dipaksa bayar pajak dengan dalih pembangunan. Tapi pembangunan itu terasa di mana? Jalan rusak tetap dibiarkan, sekolah roboh tak diperbaiki, puskesmas kekurangan obat. Sementara proyek mercusuar jalan terus, dan gedung mewah pemerintah berdiri megah.
Negara dibangun untuk rakyat, bukan untuk menindas. Pemerintah dipilih untuk melayani, bukan berkuasa sesuka hati. Tapi kenyataannya terbalik: rakyat diperlakukan seperti budak pajak, sementara pejabat hidup dari fasilitas negara.
Demokrasi berubah jadi feodalisme.
Kalau rakyat marah, itu bukan sekadar kritik. Itu peringatan. Jangan lupa, rakyatlah pemilik negara. Tanpa rakyat, kursi pejabat hanyalah kayu kosong.
Jalan Keluar: Negara Kembali Jadi Milik Rakyat
Kritik tanpa solusi hanya jadi keluhan. Perubahan butuh arah dan langkah nyata. Kalau negara hari ini lebih sibuk memeras rakyat daripada melayani, maka rakyat harus merebut kembali haknya sebagai pemilik sejati negara. Dengan cara:
Inilah peta jalan menuju negara yang benar-benar milik rakyat. Bukan negara yang hidup dari pajak untuk memanjakan pejabat, tapi negara yang mengembalikan seluruh hasil jerih payah rakyat demi kesejahteraan bersama.