Setiap orang pasti ingin punya rumah yang nyaman. Tempat di mana kita bisa beristirahat dengan tenang, merasa aman, dan hidup rukun bersama keluarga. Negara juga begitu. Indonesia adalah rumah besar bagi lebih dari 270 juta jiwa, dengan segala perbedaan suku, budaya, dan pandangan.
Melalui analogi rumah ini, kita bisa lebih mudah memahami peran setiap unsur bangsa, dari atap sampai fondasi, dari ventilasi sampai dapur, semuanya saling terhubung membentuk rumah besar bernama Indonesia.
Kondisi Ideal Negara Indonesia Seperti Rumah Aman, Nyaman, dan Tenteram
Negara yang baik itu seperti rumah besar tempat banyak orang dengan latar belakang berbeda tinggal bersama. Supaya rumah itu tetap kokoh, setiap bagiannya harus berfungsi dengan baik. Begitu juga dengan Indonesia. Kehidupan bernegara butuh kerja sama antara lembaga, pemimpin, dan rakyat. Kalau satu bagian lemah, semuanya akan ikut terguncang.
Atap melindungi rumah dari panas dan hujan. Begitu juga MPR, yang berfungsi menjaga arah negara dan menegakkan konstitusi. Kalau atapnya kuat, semua penghuni aman dari “kejahatan” politik atau masalah sosial. MPR menjadi mandataris kedaulatan.
Ventilasi membuat udara di rumah tetap segar. DPR punya peran serupa yaitu menyalurkan aspirasi rakyat agar “udara demokrasi” tetap terasa sejuk. Kalau ventilasinya mampet, rumah jadi pengap. Begitu juga, kalau DPR tak berpihak pada rakyat, demokrasi akan kehilangan napasnya.
Saluran air yang lancar bikin rumah bersih dan sehat. Presiden ibarat saluran utama kebijakan yang menyalurkan program pembangunan supaya manfaatnya sampai ke semua daerah. Tapi kalau saluran tersumbat, masalah bisa menumpuk. Jadi, presiden harus memastikan kebijakan berjalan lancar tanpa menimbulkan “banjir” baru.
WC yang baik mencegah bau tak sedap. Begitu juga hukum yang adil, menjaga agar kejahatan dan ketidakadilan tidak mencemari kehidupan bangsa. Kalau sistem hukumnya bersih dan aparatnya jujur, masalah bisa diselesaikan tanpa menimbulkan “bau” korupsi.
Pagar rumah menjaga penghuni dari bahaya dan memberi rasa aman. Itulah peran TNI dan Polri untuk menjaga ketertiban tanpa menindas rakyat. Pagar yang baik bukan yang menakutkan, tapi yang melindungi dengan tegas dan penuh rasa tanggung jawab.
Dapur adalah tempat mengolah bahan mentah jadi makanan bergizi. Sama seperti Kementerian Keuangan dan DJP yang mengelola anggaran negara agar kebutuhan rakyat terpenuhi. Dapur yang bersih menghasilkan makanan sehat; keuangan negara yang dikelola bersih menghasilkan kesejahteraan bagi semua.
Rumah butuh listrik dan air supaya kehidupan berjalan. Pajak juga begitu jadi sumber energi bagi negara. Kalau pajak dikelola jujur dan transparan, pelayanan publik bisa mengalir lancar. Tapi kalau bocor, sama saja seperti pipa rusak atau kabel korslet yang bikin rumah tidak nyaman.
Pilar Ibarat Intelektual, Budayawan, dan Rohaniawan
Setiap rumah butuh pilar penyangga. Intelektual, budayawan, dan rohaniawan adalah pilar moral bangsa. Mereka menjaga nilai, budaya, dan arah kebijakan agar negara tidak kehilangan jati diri. Tanpa mereka, rumah bisa kelihatan megah tapi rapuh di dalam.
Fondasi menahan seluruh bangunan agar tetap berdiri. Dalam negara, fondasinya adalah UUD 1945. Kalau fondasi kuat, negara tidak mudah goyah. Amandemen yang baik bukan merobohkan rumah, tapi memperkuat dasarnya supaya tetap kokoh dan relevan.
Semua bagian rumah dibangun untuk penghuninya yaitu rakyat. Mereka yang menikmati keteduhan atap, segarnya udara, dan hangatnya dapur. Kalau rakyat hidup aman dan nyaman, rumah besar bernama Indonesia pun akan tetap berdiri kokoh dan penuh kehidupan.
Kondisi Negara Indonesia Saat Ini Seperti Rumah Rusak
Sejak amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, wajah ketatanegaraan Indonesia berubah. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tempat kedaulatan rakyat berpusat. Kekuasaan dibagi ke banyak lembaga setara dengan harapan demokrasi menjadi lebih modern dan sehat. Dua puluh tahun berlalu, harapan itu belum sepenuhnya terwujud. Justru, celah kekuasaan dimanfaatkan oleh kepentingan sempit.
Negara kini ibarat rumah besar yang dulu berdiri kokoh, tapi satu per satu bagiannya mulai rusak. Kerusakan ini bukan sekadar kiasan, tapi cermin dari kenyataan yang kita lihat setiap hari: korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan krisis kepercayaan di hampir semua lembaga negara.
Atap yang seharusnya melindungi kini mulai bocor. MPR tak lagi menjadi penjaga arah negara yang teguh, mudah diintervensi kepentingan segelintir orang. Kasus Sekjen MPR Ma’ruf Cahyono yang tersangkut dugaan korupsi hanyalah satu contoh. Ketika atap bocor, air kepentingan pribadi menetes ke seluruh ruangan dan merusak dinding kepercayaan rakyat.
Ventilasi yang tersumbat membuat udara pengap. DPR, yang semestinya menyalurkan aspirasi rakyat, kini justru menjadi sumber sesak. Lebih dari 70 kasus korupsi melibatkan anggotanya lintas periode, dari Nazaruddin hingga Setya Novanto. Udara demokrasi yang dulu segar kini terasa berat dan lembab.
Saluran air yang mampet membuat rumah kotor dan tak nyaman. Begitu juga alur kebijakan ketika birokrasi lamban dan penuh pungli. Ombudsman mencatat banyak pelayanan publik berbelit-belit, dari krisis pangan hingga distribusi bansos.
WC yang mampet menimbulkan bau tak sedap. Begitu pula sistem hukum kita. Dari mantan Ketua MK Akil Mochtar, Hakim Agung Sudrajad Dimyati, hingga hakim PN Surabaya yang tertangkap, semuanya mencerminkan hukum yang kehilangan fungsi penyaringnya. Bau busuk ketidakadilan kini tercium hingga ke ruang tamu rakyat.
Pagar yang bolong membuat rumah tidak aman. Kasus suap heli AW-101 di TNI AU dan skandal Ferdy Sambo hingga Teddy Minahasa menunjukkan bagaimana pelindung rakyat justru jadi ancaman. Satpam yang seharusnya menjaga malah menakut-nakuti penghuni rumah.
Dapur yang kotor tak akan menghasilkan makanan sehat. Kasus pajak dan pamer kekayaan pejabat Kemenkeu menunjukkan betapa dapur negara dikuasai oleh segelintir orang. Rakyat diminta terus “bayar bahan makanan,” tapi hidangan yang keluar justru dinikmati oleh para pejabatnya.
Pajak seharusnya menjadi energi dan aliran kehidupan negara. Tapi kebocoran di sistem membuat listrik negara sering “padam.” Air pelayanan publik pun tetap keruh. Warga terus membayar tagihan, tapi tidak pernah menikmati fasilitas yang layak.
Pilar Ibarat Intelektual, Budayawan, dan Rohaniawan
Pilar moral bangsa kini banyak yang mulai miring. Sebagian intelektual sibuk mencari posisi, sebagian pemuka agama larut dalam kejahatan politik. Pilar yang seharusnya menegakkan nilai malah sibuk menopang kepentingan pribadi. Rumah ini masih berdiri, tapi goyah karena kehilangan penopang utamanya.
Fondasi rumah adalah konstitusi. Sayangnya, setelah amandemen, fondasi ini mudah digoyang demi kepentingan sesaat. Amandemen keempat gagal menutup celahnya. Akibatnya, tarik-menarik kekuasaan antar lembaga sering menimbulkan kebuntuan dan menambah retakan di bawah tanah.
Dan pada akhirnya, rakyatlah yang paling merasakan akibatnya. Biaya hidup naik, ruang demokrasi menyempit, dan kepercayaan terhadap negara terus menurun. Rumah besar bernama Indonesia terasa makin sumpek dan tidak aman.
Data menunjukkan lebih dari 170 kasus korupsi dan pelanggaran melibatkan berbagai lembaga negara, mulai dari kementerian, DPR, BPK, hingga aparat hukum. Semua itu terjadi setelah MPR tak lagi memegang posisi tertinggi pasca amandemen ketiga.
Solusi Perbaikan Rumah Rusak
Kerusakan negara bukan cuma soal infrastruktur atau ekonomi, melainakan ini soal rusaknya jiwa bangsa. Dalam rumah fisik, renovasi besar biasanya membuat penghuni harus pindah dulu. Tapi negara tidak begitu. Rakyat tetap tinggal, negara tetap berdiri, namun yang perlu diubah adalah desain dan manajemennya.
Perubahan tidak berarti rakyat harus meninggalkan tanah airnya. Sebaliknya, rakyat adalah pemilik sah rumah ini.
Cak Nun pernah berkata, perubahan sejati tidak harus menunggu puluhan tahun, seperti kisah Nabi Sulaiman yang mampu memindahkan istana Ratu Bilqis dalam sekejap.
“Bukan karena sulap, melainkan karena ilmu, niat, dan izin Tuhan.”
Artinya, perubahan besar bisa terjadi cepat jika ada niat yang benar, keberanian moral, dan kepemimpinan yang jujur.
Di sisi lain, banyak yang bilang, rakyat harus sadar dulu sebelum negara bisa berubah. Padahal, struktur yang sehat justru menumbuhkan kesadaran rakyat.
Yang pertama-tama harus sadar adalah empat pilar penopang kedaulatan:
Jika hanya 10–20 tokoh dari empat pilar ini bersatu dengan niat tulus dan strategi cerdas, cetak biru kekuasaan bisa dirombak tanpa perlu jutaan rakyat turun ke jalan.
Perubahan besar tidak lahir dari wacana, tapi dari keberanian nyata. Seperti belajar berenang, kita tidak akan bisa hanya dengan berdiri di pinggir kolam.
Ketika tiga keberanian ini hadir bersamaan, renovasi besar rumah Indonesia bukan lagi utopia, tapi langkah nyata yang bisa diwujudkan dalam waktu singkat.
Kesadaran rakyat akan tumbuh sebagai hasil dari keadilan yang dirasakan.
Dan ketika rumah ini kembali nyaman dan aman, penghuninya yaitu rakyat Indonesia akan dengan sendirinya bangkit untuk merawat rumah bersama.
Apakah Ganti Presiden Sudah Cukup?
Ketika keadaan negara makin semrawut, suara yang paling sering terdengar di ruang publik adalah, “Ganti Presiden!” Seruan ini wajar. Presiden memang wajah negara, pemegang kekuasaan tertinggi di eksekutif, dan simbol harapan rakyat. Tapi, benarkah cukup hanya dengan mengganti presiden?
Jawabannya: Tidak. Mengganti presiden tanpa memperbaiki fondasi negara sama saja seperti ganti mandor, tapi tetap pakai rancangan bangunan yang salah. Retakannya akan tetap melebar, siapa pun yang memimpin.
Presiden baru bisa saja membawa semangat perubahan, tapi kalau pilar-pilar lain masih dikuasai kepentingan sempit, rumah besar bernama Indonesia tetap saja rawan mengalami kerusakan.
Apakah Menunggu Pemilu Sudah Cukup?
Banyak orang berkata, “Tunggu saja pemilu, lima tahun lagi kita ganti pemerintahnya.” Kedengarannya masuk akal, karena pemilu memang cara resmi rakyat memilih pemimpin baru. Tapi kalau kita lihat kondisi rumah besar bernama Indonesia yang sudah bocor dan retak, pertanyaannya jadi sederhana: apa kita mau menunggu lima tahun lagi untuk memperbaikinya?
Menunggu pemilu itu seperti menunggu tukang datang lima tahun sekali, padahal atap sudah bocor dan dinding mulai lapuk. Selama kita diam, air hujan terus merembes, tikus makin banyak, dan fondasi makin rapuh. Kalau dibiarkan, kerusakannya malah tambah parah dan biaya perbaikannya semakin besar.
Sistem pemilu pun masih banyak celah. Partai besar menguasai pencalonan, uang dan sponsor berperan besar, sementara pengawasnya kadang tak cukup kuat. Alhasil, pemilu kadang lebih mirip undian daripada jalan menuju perubahan.
Kalau kita hanya menunggu pemilu, berarti kita pasif dan membiarkan rumah rusak ini perlahan namun pasti menjadi rumah yang siap roboh.