Berita

Ketika Barbel dan Bola Datang ke Pengungsi: Kebijakan yang Patut Dipertanyakan
Berita Terbaru

Ketika Barbel dan Bola Datang ke Pengungsi: Kebijakan yang Patut Dipertanyakan

Di tengah penderitaan warga yang kehilangan rumah akibat bencana, publik dikejutkan oleh bantuan yang datang dalam bentuk barbel dan bola olahraga. Bagi korban yang masih berjuang mendapatkan makanan, air bersih, dan tempat berlindung, bantuan tersebut bukan sekadar tidak berguna melainkan menyakitkan. Peristiwa ini kembali mempertanyakan kepekaan negara dalam membaca situasi darurat yang dihadapi rakyatnya.

Kesalahan jenis bantuan menandakan lemahnya asesmen kebutuhan dan buruknya koordinasi antarinstansi. Prosedur distribusi mungkin berjalan, tetapi tanpa pemahaman kondisi lapangan, bantuan berubah menjadi formalitas administratif. Alih-alih hadir sebagai solusi, negara justru tampak absen dalam memahami penderitaan nyata warga.

Dampak Psikologis dan Sosial bagi Korban

Selain tidak dapat digunakan, bantuan yang salah sasaran memukul kondisi psikologis korban. Rasa diabaikan dan tidak dipahami memperparah trauma pascabencana. Bantuan yang semestinya memberi harapan justru menambah luka sosial.

Dalam kondisi krisis, ketepatan bantuan adalah bentuk penghormatan terhadap martabat manusia.

Publik berhak mempertanyakan siapa yang menentukan jenis bantuan dan bagaimana proses pengambilan keputusannya. Tanpa kejelasan tanggung jawab, kesalahan semacam ini berisiko berulang dan menjadi pola buruk dalam penanganan bencana. Akuntabilitas bukan sekadar evaluasi internal, tetapi kewajiban kepada rakyat.

Tanggapan Prayogi R. Saputra

Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa peristiwa ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya.

“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam situasi bencana, negara harus hadir dengan empati dan ketepatan. Bantuan yang salah sasaran berarti negara gagal melayani dan melindungi rakyatnya,” tegas Prayogi.

Ia menambahkan bahwa kebijakan bantuan tidak boleh terjebak pada rutinitas, melainkan harus berpijak pada kebutuhan riil korban.

Solusi: Memperbaiki Sistem, Mengembalikan Kepercayaan

Agar kejadian serupa tidak terulang, sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan:

  • Asesmen kebutuhan cepat dan partisipatif
    Libatkan aparat lokal, relawan, dan warga terdampak dalam menentukan prioritas bantuan.
  • Standarisasi bantuan fase darurat
    Pastikan bantuan awal berfokus pada pangan, kesehatan, hunian sementara, dan sanitasi.
  • Transparansi dan pengawasan distribusi
    Publikasi terbuka jenis dan tujuan bantuan untuk mencegah kesalahan berulang.
  • Evaluasi dan sanksi atas kelalaian
    Kesalahan penyaluran harus ditindak tegas agar menjadi pelajaran institusional.

Ketika warga kehilangan rumah, yang mereka butuhkan adalah perlindungan dan pelayanan, bukan simbol yang keliru. Barbel dan bola mungkin berguna di tempat lain, tetapi di tengah bencana, itu adalah bukti bahwa empati belum menjadi bagian dari kebijakan. Negara harus segera berbenah karena dalam krisis, rakyat menunggu kehadiran, bukan alasan.