Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan berulang kali menegaskan komitmennya untuk melindungi rakyat. Pernyataan itu penting, tetapi dalam salah satu kesempatan, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) mengingatkan sebuah kenyataan getir: “Di Indonesia ini, rakyat tidak dilindungi siapa pun.”
Dua pernyataan yang seolah berdiri di ujung kutub berlawanan itu justru menyingkap satu problem mendasar: sistem ketatanegaraan kita yang pincang.
Negara Sebagai Keluarga, Rakyat dan MPR sebagai Rumah Tangga
Bayangkan negara sebagai sebuah keluarga. Dalam perumpamaan ini:
Keluarga yang sehat tentu hanya akan bahagia jika peran masing-masing dijalankan sebagaimana mestinya. Rakyat (istri) dijaga, suami (MPR) setia, anak (Pancasila) dirawat, dan asisten rumah tangga (Presiden) bekerja sesuai mandat, bukan berkuasa layaknya tuan rumah. Rakyat (istri) dan suami (MPR) adalah sebuah rumah tangga yang selalu berusaha menjadi pasangan yang harmonis agar terwujud rumah tangga yang bahagia sehingga anak (Pancasila) tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Sementara itu dalam membatu peran istri sebagai kepala rumah tangga dibutuhkan asisten rumah tangga yang bertugas melayani dan mengatur keperluan seluruh anggota keluarga, istri, suami maupun anak.
Negara Broken Home
Masalah muncul ketika peran itu dibalik. MPR yang semestinya menjadi suami setia rakyat justru “menikahi” Presiden sebagai asisten rumah tangga. Pernikahan yang tidak seharusnya ini dilindungi penuh oleh DPR, partai politik, dan bahkan TNI/Polri. Akibatnya keluarga bangsa (Negara) berubah menjadi keluarga broken home.
Rakyat kehilangan suami yang setia, kehilangan perlindungan, dan kehilangan rumah tangga yang harmonis. Presiden yang semestinya hanya menjalankan perintah malah mendapat legitimasi untuk bertindak seolah kepala keluarga. Sementara agen, pengawas, hingga satpam keluarga justru menjaga pernikahan yang cacat itu agar tetap langgeng.
Inilah ironi besar dari sistem politik kita. Semua perangkat negara ada, tetapi tidak ada satu pun yang sungguh-sungguh menjaga rakyat. Sang anak (Pancasila) akhirnya menjadi anak yang tidak percaya diri.
Jalan Menuju Keluarga Bahagia
Bagaimana seharusnya? Struktur ketatanegaraan yang benar menuntut MPR kembali pada mandat rakyat. Suami harus kembali setia pada istri. Artinya, MPR sebagai mandataris rakyat tidak boleh tunduk pada Presiden, melainkan Presiden yang harus tunduk kepada MPR.
Partai politik pun tidak bisa semena-mena mengusung calon Presiden tanpa restu rakyat melalui MPR. DPR baru akan berfungsi sebagai pengawas efektif jika Presiden benar-benar berdiri sebagai pelayan, bukan penguasa. Dan TNI/Polri, satpam keluarga bangsa, hanya akan bermakna bila melindungi rakyat, bukan sekadar mengawal rezim.
Suara Rakyat yang Terabaikan
Cak Nun dengan getir menyimpulkan: rakyat Indonesia sudah tidak memiliki jalan keluar, karena semua sistem resmi tidak mengakomodasi mereka. Pemerintahan ada, negara ada, perwakilan rakyat pun ada. Namun, tak satu pun yang menanyakan langsung kepada rakyat apa yang mereka inginkan.
Kenyataan ini membuat rakyat mencari pola-pola alternatif. Mereka membangun forum-forum nonformal, menghidupkan ruang-ruang kebudayaan, dan menyuarakan aspirasi di luar jalur resmi. Itu semua adalah tanda bahwa sistem formal telah gagal menjalankan fungsinya.
Penutup
Janji Presiden untuk melindungi rakyat akan selalu terdengar indah di telinga. Namun, sebagaimana diingatkan Cak Nun, janji itu tak ada artinya jika struktur negara tetap broken home. Selama MPR tidak kembali pada rakyat, selama DPR lebih setia pada Presiden, dan selama TNI/Polri lebih sibuk mengawal kekuasaan daripada menjaga rumah bangsa, rakyat akan terus hidup tanpa perlindungan sejati.
Negara bukan rezim. Negara adalah sebuah keluarga yang anggotanya adalah suami, istri, dan anak. Sementara rumah tangga anggotanya adalah suami dan istri. Jika rumah tangga ini sehat, Negara Indonesia akan menjadi keluarga bahagia. Jika tetap broken home, janji Presiden Prabowo hanya akan jadi retorika kosong.