Setiap musim kampanye, janji-janji pemilu bertebaran seolah masa depan bangsa bisa dibeli dengan kata-kata manis. Pendidikan gratis, lapangan kerja luas, harga kebutuhan pokok stabil, kesehatan merata semua dijanjikan dengan mudah. Namun begitu kursi kekuasaan diraih, janji itu hilang tanpa jejak. Yang seharusnya menjadi kontrak moral berubah jadi sekadar strategi merebut suara. Murah bagi pemimpin, mahal bagi rakyat yang menanggung akibatnya.
Lihatlah keseharian: jalan tetap rusak, biaya berobat tinggi, harga pangan terus naik. Pejabat sibuk meresmikan proyek besar yang jauh dari kebutuhan dasar masyarakat. Kegagalan menepati janji tidak pernah dibayar pemimpin, melainkan rakyatlah yang harus menanggung kerugian. Demokrasi yang katanya memberi kontrol pada rakyat, pada praktiknya hanya menjadikan rakyat legitimasi lima tahunan. Setelah pemilu selesai, suara rakyat ditinggalkan, kritik dipinggirkan, kebijakan dijalankan sesuai kepentingan penguasa. Rakyat disingkirkan dari posisinya sebagai bos, pemilik kedaulatan negara. Akibatnya, kepercayaan terkikis dan demokrasi merosot jadi seremonial tanpa makna.
Suara Rakyat Ditukar Janji Kosong
Setiap pemilu datang, suara rakyat diperlakukan seperti barang dagangan. Para calon pemimpin pura-pura turun ke jalan, bersalaman dengan rakyat kecil, bahkan ikut merasakan penderitaan demi simpati. Janji ditebar: harga murah, lapangan kerja luas, pendidikan gratis, kesehatan terjamin, korupsi diberantas. Semuanya terdengar indah, seakan masalah bangsa selesai hanya dengan ucapan.
Namun setelah kursi kekuasaan digenggam, janji itu lenyap. Rakyat yang menitipkan harapan lewat hak pilihnya ditinggalkan tanpa kepastian. Mereka yang dulu bicara lantang soal kesejahteraan kini sibuk mengurus proyek, jabatan, dan kepentingan kelompok.
Sementara rakyat kembali menanggung beban: harga tetap tinggi, pekerjaan sulit, korupsi makin subur, pelayanan publik tetap buruk. Suara rakyat dipakai untuk berkuasa lalu dibuang begitu saja.
Padahal demokrasi sejatinya menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bukan sekadar objek kampanye. Saat suara rakyat ditukar dengan janji kosong, pemerintah kehilangan makna, dan demokrasi berubah jadi sandiwara.
Janji Cuma Retorika, Realita yang Menderita
Pemerintahan di negeri ini sering menyerupai panggung teater. Saat kampanye, pemimpin tampil layaknya aktor ulung: suara berapi-api, janji pembangunan merata, harga murah, lapangan kerja melimpah, pelayanan publik cepat dan mudah. Kata-kata tersusun rapi, membuat rakyat percaya masa depan akan lebih baik.
Namun setelah berkuasa, semua janji berubah jadi kalimat kosong. Rakyat yang tadinya dipeluk manis, kini dipaksa menanggung beban sendirian. Jalan tetap rusak, harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja tak kunjung terbuka, pelayanan publik masih penuh birokrasi berbelit.
Saat rakyat menagih, kritik dianggap mengganggu stabilitas, protes dipandang ancaman. Padahal yang ditagih hanyalah janji mereka sendiri. Inilah wajah nyata pemerintahan yang penuh retorika: mulut manis saat butuh suara, telinga tertutup saat rakyat menuntut realita. Retorika tanpa realisasi bukan sekadar kebohongan, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Demokrasi tanpa kepercayaan hanyalah lingkaran penderitaan.
Rakyat Selalu Jadi Korban Eksperimen Kekuasaan
Setiap kali bangsa menghadapi krisis, yang paling sering dikorbankan bukan pejabat, melainkan rakyat biasa. Mereka yang bekerja keras, membayar pajak, mematuhi aturan, justru dijadikan bahan uji coba kebijakan yang sering berubah tanpa arah. Dari satu rezim ke rezim lain, rakyat diperlakukan seperti kelinci percobaan. Sementara penguasa tetap aman di kursi empuk.
Sejarah menunjukkan, sistem pemerintahan lebih sering dirombak demi kepentingan segelintir orang, bukan rakyat. Demokrasi berubah menjadi transaksi, hukum jadi alat tawar-menawar, rakyat dipaksa menyesuaikan diri dengan aturan yang berubah seperti cuaca.
Akibatnya, krisis datang silih berganti: jalan rusak, pendidikan mahal, kesehatan sulit dijangkau, harga bahan pokok melonjak. Dan setiap kegagalan selalu ditimpakan kepada rakyat: diminta bersabar, berkorban, dan memahami keadaan. Padahal yang membuat kesalahan adalah penguasa.
Jika kondisi ini dibiarkan, bangsa ini hanya jalan di tempat. Rakyat tetap miskin, pejabat tetap kaya. Demokrasi jadi ritual lima tahunan tanpa makna, sementara kedaulatan rakyat terus disingkirkan.
Solusi Penyembuhan Versi Partai X
Partai X percaya rakyat tidak boleh lagi menjadi korban eksperimen pejabat. Negara harus dikembalikan kepada pemilik sejatinya: rakyat. Untuk itu, langkah konkret perlu dijalankan:
Dengan langkah-langkah ini, rakyat tidak lagi sekadar korban, tetapi benar-benar memegang kendali arah bangsa. Karena sejatinya, negara bukan milik penguasa yang silih berganti, melainkan milik rakyat yang membayar dengan keringat, air mata, dan harapan.