Pernyataan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang resmi menghentikan peran vendor asing dan menggantikannya dengan 24 ahli IT lokal untuk memperbaiki Coretax membuka babak baru dalam drama sistem perpajakan nasional. Langkah ini tidak hanya mencerminkan pengakuan implisit atas kegagalan proyek senilai lebih dari Rp 1,6 triliun, tetapi juga memperkuat dugaan bahwa tata kelola proyek dan manajemen IT di level pemerintah telah berlangsung jauh dari standar profesional.
Erick Karya, S.Kom, Direktur Utama PT Enygma Solusi Negeri, memberikan penilaian kritis terhadap manuver besar DJP tersebut.
Menurut Erick, keputusan untuk “menendang” developer asing dan menggantikannya dengan tim ahli lokal bukan langkah biasa langkah ini merupakan sinyal politik dan teknis yang menunjukkan adanya urgensi membangun kesan keberhasilan cepat (quick-win) di tengah tekanan publik dan masalah menahun.
1. Quick-win yang Mengungkap Kegagalan Besar
“Menendang seluruh developer asing dan menunjuk 24 ahli IT lokal untuk menyegerakan pembenahan bermakna lebih dari sekadar drama teknis.”
Erick menilai pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah mencari solusi instan tanpa menyentuh akar persoalan tata kelola proyek. Alih-alih membangun fondasi sistem perpajakan yang future-proof, negara cenderung mengejar pencitraan kepahlawanan: seolah-olah kegagalan besar bisa ditebus dengan langkah cepat yang heroik.
2. Jika 24 Orang Bisa Selesaikan Cepat, Ke Mana Pergi Rp 1,6 Triliun Itu?
Erick menegaskan bahwa keberhasilan cepat para ahli lokal justru mempermalukan pengadaan sebelumnya.
“Jika 24 ahli IT lokal bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat, itu justru membuktikan—dan mengakui secara halus—bahwa pengadaan sebelumnya sangat tidak efisien.”
Coretax dikerjakan selama hamper enam tahun, dengan biaya lebih dari Rp 1,6 triliun, melibatkan nama besar seperti LG CNS, Deloitte, dan PwC. Namun hasilnya justru sistem yang gagal beroperasi optimal dan diwarnai error bertahun-tahun.
Erick menilai kondisi ini sebagai bentuk lingkaran kemunafikan, di mana kegagalan dibuat seolah bukan kesalahan kebijakan, melainkan kesalahan teknis sesaat.
Meski 24 ahli lokal bisa menyelesaikan pembenahan, Erick memperingatkan risiko besar:
“Di bawah lindungan kekuasaan, sistem baru ini bisa selesai, tetapi berisiko menjadi karya tambal-sulam yang baru memperlihatkan keburukannya 5–10 tahun ke depan.”
Pemerintah, menurutnya, sering mengulang pola: menutupi bangkai proyek lama dengan bangkai proyek baru — tanpa audit, tanpa evaluasi, tanpa pengakuan kegagalan.
4. Ini Bukan Masalah Teknis, Melainkan Gagal Kelola Proyek
Menurut Erick:
“Kecepatan dan kehebatan yang dipamerkan lebih mencerminkan upaya menciptakan pahlawan baru daripada membangun sistem yang matang, efisien, dan berkelanjutan.”
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP, menilai bahwa pengakuan publik DJP atas kegagalan Coretax serta keputusan mengganti vendor asing merupakan alat bukti baru yang sangat penting dalam penyelidikan dugaan korupsi.
IWPI mendesak:
“Ketika DJP mengakui kegagalan dan mengganti seluruh kontraktor asing, itu artinya ada masalah sangat besar pada pengadaan lama. KPK tidak boleh membiarkan laporan IWPI sejak 23 Januari 2025 terus menganggur.”
Rinto juga menyoroti pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bahwa Coretax “dikerjakan oleh lulusan SMA”, serta klaim Dirjen Pajak Bimo Wijayanto bahwa ahli lokal dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat. Kedua pernyataan itu, menurut IWPI, memperkuat dugaan bahwa proyek sebelumnya sarat penyimpangan.
IWPI mendukung penggunaan ahli lokal dan penguatan sistem nasional. Namun:
Coretax telah menelan anggaran yang sangat besar dan tidak memberi manfaat langsung bagi jutaan wajib pajak. Karena itu, penegakan hukum harus berjalan beriringan dengan pembenahan teknis.
“DJP boleh memperbaiki Coretax hari ini. Tetapi pertanggungjawaban atas kegagalan besar kemarin tetap harus dibuka dan dijelaskan secara hukum.” — IWPI