Setelah Dirjen Pajak resmi mengumumkan bahwa pihaknya telah “menendang” developer asing dan akan mengganti pembenahan Coretax dengan 24 ahli IT lokal, kritik dari kalangan profesional teknologi informasi mulai bermunculan. Banyak yang menilai langkah ini bukan saja ambisius, tetapi secara teknis sulit dieksekusi dalam waktu singkat.
Salah satu suara paling tajam datang dari Gita Hanandika, Chief Technology Officer (CTO) PT Enygma Solusi Negeri perusahaan teknologi lokal yang berpengalaman menangani proyek-proyek pemerintahan dan dikenal melalui platform Intelligent Operation Platform (IOP).
Gita menilai bahwa pengembangan ulang atau pembenahan besar Coretax tidak bisa diselesaikan dengan hanya 24 orang terlebih jika targetnya cepat, stabil, dan dapat mengambil alih sistem senilai triliunan rupiah.
Menurut Gita:
“Kalau cuma 24 orang, bakal keteteran. Itu harus dipecah lagi ke beberapa divisi teknis yang berbeda.”
Ia menegaskan bahwa untuk sistem nasional sebesar Coretax, pembagian fungsinya minimal mencakup:
“Sistem ini harus 24/7, dan kalau ada bus factor — misalnya satu engineer kecelakaan atau tidak bisa bekerja — seluruh operasional bisa pincang. Ini bukan sistem kecil yang bisa ditangani satu tim super-mini.”
Gita juga menyoroti satu aspek penting:
“Belum lagi proses reverse engineering. Itu akan memakan waktu sangat lama. Untuk bisa cepat, 24 ahli IT itu harus level Principal Engineer atau Architect, sementara dengan gaji standar PNS, hampir tidak mungkin menarik talenta di level itu.”
CTO Enygma menambahkan bahwa sistem Coretax saat ini saja sudah menghadapi traffic tinggi, server bottleneck, dan kekacauan performa.
“Dengan kondisi sekarang saja tidak stabil, apalagi setelah serah terima. Risiko kegagalan sistemnya tinggi jika timnya sekecil itu.”
Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., kembali mengingatkan pemerintah mengenai kaidah dasar pembangunan sistem IT sektor publik.
Menurut Rinto:
“Urutan pengadaan IT pemerintah itu ada pakemnya. Pertama, proses bisnis aplikasinya harus jelas. Kedua, regulasinya harus sederhana dan mudah dipahami. Ketiga, barulah belanja teknologinya dilakukan mau vendor asing atau lokal tidak masalah, selama sesuai kebutuhan.”
IWPI menilai bahwa kegagalan Coretax selama bertahun-tahun terjadi karena proses ini dibalik: belanja teknologi dulu, proses bisnis dipaksa menyesuaikan belakangan, dan regulasi tidak diselaraskan sejak awal.
Rinto mengingatkan bahwa perbaikan Coretax tidak boleh menjadi proyek simbolis semata:
“Kalau urutannya tetap salah, maka kegagalan akan kembali berulang. Tidak peduli apakah dikerjakan vendor asing atau ahli dalam negeri.”
Baik Enygma maupun IWPI menegaskan:
Perbaikan Coretax harus dilakukan dengan pendekatan profesional, realistis, dan berbasis praktik terbaik bukan sekadar langkah heroik yang mengejar kesan cepat beres.