Kalau kamu jalan-jalan ke Eropa dan lihat gedung parlemennya, rasanya beda banget sama gedung DPR kita di Senayan. Di sana, gedung parlemen kelihatan terbuka dan ramah. Tidak ada pagar tinggi, kawat berduri, atau barikade beton seperti di gedung DRR Indonesia.
Artinya jelas:
Mereka ingin gedung parlemen terasa dekat dengan rakyat, bukan ditakuti rakyat.
Keamanan tetap ada, tapi bentuknya “tak terlihat” seperti kamera CCTV, polisi, dan sistem keamanan canggih lainnya. Mereka membuktikan bahwa tidak butuh tembok tinggi untuk menunjukkan wibawa.
Lihat saja kompleks DPR/MPR di Senayan.
Pagar tinggi, kawat berduri, pos penjagaan, dan barrier beton sudah jadi pemandangan biasa.
Begitu ada demo besar, pagar ditutup, polisi berjejer, rakyat berhenti di luar. Dari luar saja sudah terasa jaraknya. Seolah Rakyat tidak berhak atas gedung wakil rakyat.
Kenapa bisa begitu?
Karena dari awal, gedung DPR dibangun dengan logika “benteng”. Bukan rumah untuk rakyat datang berdiskusi, tapi markas yang harus diamankan.
Desainnya pun dibuat supaya gampang ditutup dan dijaga. Ada jarak lebar antara jalan dan gedung, banyak pagar, dan area dalam yang luas tapi tertutup publik.
Ini bukan kebetulan. Sebagian besar warisan dari masa otoriter, saat negara melihat rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai pemilik rumah.
Kalau mau melihat asal-usulnya, kita bisa menengok ke Benteng Vredeburg di Yogyakarta.
Benteng itu dibangun Belanda di tahun 1760-an, dengan alasan resmi yaitu “menjaga keamanan Keraton.”.
Tapi kalau lihat letaknya, benteng ini berada tepat di depan Keraton dan hanya sejauh tembakan meriam sehingga tujuannya jelas bukan melindungi, tapi mengawasi dan mengancam pihak Kesultanan.
Diketahui, VOC membangun benteng itu supaya bisa memantau gerak-gerik Sultan dan siap menyerang kalau Keraton melawan. Jadi, dari awal, benteng itu bukan untuk rakyat, tapi untuk menjaga kepentingan kolonial.
Setelah Sultan dijadikan sekutu, fungsinya bergeser dimana benteng itu bukan lagi mengancam sang Sultan, tapi justru melindungi tatanan kolonial yang mereka jalankan bersama. Kalau rakyat marah karena pajak atau kerja paksa, pasukan bentenglah yang turun menjaga “ketertiban”.
Dengan kata lain, benteng itu akhirnya berubah fungsi: dari alat untuk mengontrol Sultan, menjadi alat untuk menjaga Sultan (dan kekuasaan kolonial) dari rakyat.
Kalau dipikir-pikir, pola ini mirip banget dengan yang kita lihat sekarang.
Dulu, benteng berdiri di depan istana untuk mengontrol Sultan dan rakyat.
Sekarang, pagar tinggi berdiri di depan gedung DPR untuk “mengamankan” para pejabat dari rakyatnya sendiri.
Meriam diganti dengan water cannon dan gas air mata.
Tapi logika di baliknya sama yaitu kekuasaan selalu merasa perlu dilindungi dari rakyat, bukan melindungi rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Itulah kenapa banyak orang merasa janggal ketika DPR disebut “rumah rakyat”. Secara simbolik, bangunannya sendiri justru menunjukkan jarak seolah rakyat tak benar-benar diterima di dalamnya.
Rumah Rakyat atau Markas Elite?
Perbedaan paling besar antara parlemen di Eropa dan di Indonesia bukan cuma soal desain, tapi soal cara pandang terhadap rakyat.
Eropa bisa begitu karena mereka lama hidup dalam tradisi demokrasi.
Sementara Indonesia mewarisi cara berpikir dari masa kolonial dan otoriter, di mana kekuasaan selalu harus “dijaga”.
Tapi pagar tinggi di Senayan hari ini bukan takdir.
Itu keputusan pemerintahan yang bisa diubah, kalau memang mau benar-benar menjadi rumah rakyat.
Perubahan tidak cukup lewat kata-kata. Kalau DPR sungguh ingin jadi rumah rakyat, maka langkah pertama justru sederhana: buka pagar, pendekkan jarak, dan ubah cara pandang.
Rakyat tidak seharusnya dihadang pagar saat ingin didengar. Karena yang namanya “rumah rakyat”, ya seharusnya pintunya terbuka untuk rakyat, bukan dijaga seperti benteng dari rakyat.
Ingat! Rakyat adalah Bos, dan Pemerintah hanyalah pelayan rakyat. Gedung DPR dibangun dengan uang rakyat sehingga tidak etis jika gedung ini justru membatasi ruang gerak rakyat yang merupakan pemiliknya.