Di tengah tekanan ekonomi dan meningkatnya beban hidup masyarakat, tuntutan transparansi pengelolaan pajak semakin menguat. Publik mempertanyakan ke mana uang pajak dialokasikan, bagaimana efektivitas sistem perpajakan digital, serta sejauh mana negara bertanggung jawab atas berbagai kebijakan fiskal yang berdampak langsung pada rakyat. Namun alih-alih menjawab secara terbuka, respons pemerintah justru kerap terlihat menghindar. Ketika rakyat diminta patuh membayar pajak, negara justru absen saat diminta transparan.
Belakangan, sistem administrasi pajak digital seperti Coretax menuai banyak keluhan. Gangguan teknis, keterlambatan layanan, hingga kebingungan wajib pajak kecil dan menengah menjadi sorotan luas. Namun kritik yang muncul dari publik justru dibalas dengan imbauan agar masyarakat “memaklumi proses transisi”, tanpa penjelasan rinci mengenai tanggung jawab negara atas kerugian waktu dan biaya yang dialami wajib pajak. Alih-alih transparansi, publik justru disuguhi narasi normatif.
Kebijakan fiskal seperti kenaikan tarif pajak, perluasan objek pajak, hingga optimalisasi penerimaan negara terus didorong dengan alasan menjaga APBN. Namun penjelasan mengenai efektivitas penggunaan dana pajak terutama untuk pelayanan publik, subsidi tepat sasaran, dan perlindungan sosial masih minim disampaikan secara terbuka dan mudah dipahami.
Kondisi ini memperkuat kesan bahwa kepatuhan rakyat dipaksakan, sementara akuntabilitas negara dinegosiasikan.
Kepekaan publik semakin tajam ketika tuntutan transparansi pajak muncul bersamaan dengan berbagai isu pejabat, mulai dari polemik tunjangan pejabat, proyek-proyek besar yang minim evaluasi publik, hingga kasus hukum yang menyeret pejabat pajak di masa lalu dan belum sepenuhnya memulihkan kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, sikap defensif pemerintah justru memperdalam krisis kepercayaan.
Dalam sistem demokrasi, pajak adalah kontrak sosial antara negara dan rakyat. Ketika negara meminta kontribusi, negara wajib membuka diri terhadap pengawasan publik. Transparansi bukan ancaman stabilitas fiskal, melainkan fondasi legitimasi kebijakan.
Menghindari pertanyaan publik hanya akan memperkuat kecurigaan bahwa pengelolaan pajak belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Kurangnya keterbukaan membuat wajib pajak terutama pelaku UMKM dan pekerja menanggung beban ganda: kewajiban administrasi yang rumit dan ketidakpastian manfaat. Ketika sistem bermasalah, risiko justru dialihkan kepada rakyat, bukan ditanggung negara sebagai pengelola kebijakan. Ini menciptakan ketimpangan relasi antara negara dan pembayar pajak.
Untuk memulihkan kepercayaan publik, langkah konkret perlu segera diambil:
Penerimaan negara tidak akan berkelanjutan tanpa kepercayaan publik. Transparansi pajak bukan sekadar tuntutan moral, melainkan syarat dasar keberlangsungan negara demokratis.
Jika pemerintah terus menghindar, yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga legitimasi kebijakan fiskal itu sendiri.