Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia sejatinya menjadi momentum refleksi mendalam. Namun, apa makna kemerdekaan jika rakyat Indonesia belum merdeka secara finansial? Beban utang yang diwariskan selama satu dekade pemerintahan Jokowi menjerat rakyat hingga total Rp8.500 triliun. Dengan proyeksi penduduk mencapai 281,6 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020–2050), artinya setiap warga negara termasuk bayi yang baru lahir, menanggung utang hingga Rp30 juta per kepala. Lahir bukan membawa harapan, melainkan beban.
Dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, utang negara melonjak sekitar Rp6.000 triliun. Data Kementerian Keuangan mencatat, per Juli 2024, utang pemerintah telah menyentuh Rp8.502,69 triliun. Angka ini menjadi simbol nyata bahwa rakyat Indonesia belum benar-benar merdeka secara ekonomi (sumber : Inilah.com).
Potensi BUMN yang Tersembunyi
Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam berbagai refleksinya menyoroti persoalan mendasar yang jarang disadari publik: kekayaan riil Indonesia bukanlah milik konglomerat swasta, melainkan tersembunyi di balik "kerajaan-kerajaan" Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai contoh, Indofood, Indosemen, hingga Bogasari, yang sering disebut sebagai raksasa swasta, ternyata hanya memiliki omzet gabungan sekitar Rp45 triliun. Bahkan jika digabung dengan seluruh konglomerat besar lain, totalnya tak lebih dari Rp50 triliun.
Bandingkan dengan Pertamina yang omzetnya mencapai Rp450 triliun, sepuluh kali lipat dari para konglomerat itu. Dan itu baru satu BUMN. Indonesia memiliki lebih dari 220 BUMN, termasuk PLN, Telkom, PJKA, dan Perhutani, yang menyumbang 70% dari total aset keuangan nasional. Sayangnya, kekayaan maha besar ini tidak mengalir langsung untuk kesejahteraan rakyat.
Cak Nun menekankan, bila BUMN benar-benar diurus dengan amanah dan akuntabel, tidak dijadikan sapi perah elite, maka setiap bayi yang lahir bisa langsung memperoleh Rp10 juta dari negara. Biaya pendidikan bisa gratis, layanan kesehatan terjangkau, dan masyarakat bebas dari beban pajak yang menindas.
"Lubang Tikus" dalam Sistem
Menurut Cak Nun, "lubang tikus" dalam sistem inilah yang membuat kekayaan negara bocor. Undang-undang dan amandemen sengaja dirancang dengan celah-celah yang sulit ditafsirkan dan ditegakkan, sehingga kebocoran kekayaan negara dibiarkan berlangsung. Inilah kenapa rakyat dipaksa menanggung utang, sementara pejabat dan elit menikmati fasilitas berlebih.
Kekayaan BUMN, yang seharusnya menjadi tulang punggung kesejahteraan, justru menjadi ladang bancakan. "Kerajaan" BUMN dikendalikan oleh segelintir elite yang memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Komodifikasi Layanan Publik
Cak Nun juga menyoroti maraknya komodifikasi layanan publik. Pendidikan, kesehatan, agama, hingga budaya dijadikan ladang bisnis. Universitas besar seperti UGM berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), beroperasi layaknya perusahaan yang berorientasi profit. Padahal, seharusnya pendidikan adalah hak dasar rakyat, bukan komoditas.
Guru, dokter, kyai, ustaz, semua profesi yang seharusnya berkhidmat, kini terjebak dalam logika pasar. Negara abai menyediakan jaminan hidup yang layak bagi mereka, sehingga rakyat pun terpaksa membayar mahal untuk pelayanan yang seharusnya gratis atau murah.
Seruan untuk Revolusi Ketatanegaraan
Di tengah kerusakan sistemik ini, Cak Nun menyerukan perlunya "revolusi ketatanegaraan luar biasa". Bukan sekadar perbaikan tambal sulam, tetapi transformasi mendasar untuk menutup semua "lubang tikus" dalam sistem hukum dan tata kelola negara.
Revolusi ini adalah jalan damai, tetapi radikal dalam menuntut keadilan. Tujuannya jelas: mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sepenuhnya, menata ulang struktur negara, serta memastikan BUMN benar-benar menjadi mesin kesejahteraan rakyat, bukan mesin kekayaan pejabat.
Jika revolusi ketatanegaraan ini terwujud, rakyat tidak lagi menanggung utang negara sejak lahir. Bayi yang lahir bisa langsung mendapatkan Rp10 juta sebagai modal masa depan. Pendidikan dan kesehatan menjadi hak, bukan beban. Dan kemerdekaan bukan sekadar seremoni, melainkan dirasakan nyata oleh setiap anak bangsa.
Penutup
"Indonesia ini kaya raya. Masalahnya bukan pada kurangnya harta, tapi pada kebocoran yang disengaja dan dibiarkan. Kalau negara benar-benar diurus dengan jujur dan adil, bukan hanya bayi lahir yang sejahtera, tapi seluruh rakyat bisa hidup bermartabat," Cak Nun.
Saatnya kita kembali ke ruh sejati bangsa: gotong royong, keadilan, dan kedaulatan rakyat. Bukan sekadar retorika, tetapi diwujudkan lewat revolusi ketatanegaraan yang sungguh-sungguh.