Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun kembali melontarkan kritik tajam tentang kondisi bangsa Indonesia. Dalam berbagai forum, Cak Nun menegaskan bahwa masalah Indonesia bukan sekadar masalah teknis birokrasi atau sekadar urusan ganti pemimpin. Lebih dari itu, Indonesia sedang menghadapi persoalan mendasar kerusakan sistemik dalam struktur ketatanegaraan yang penuh celah.
Menurut Cak Nun, undang-undang di Indonesia sengaja dirancang dengan banyak "lubang tikus", celah hukum yang memungkinkan kekayaan negara mengalir ke kantong segelintir elite. Celah ini diciptakan dengan dalih hukum modern, namun pada kenyataannya mempersulit rakyat dan menguntungkan mereka yang punya akses kuasa.
"Undang-undang sengaja dibuat penuh celah, supaya rakyat susah, supaya mereka yang berkuasa mudah mengambil bagian. Akhirnya, kekayaan negara bocor ke mana-mana," ujar Cak Nun dalam salah satu refleksinya.
Cak Nun mengibaratkan kondisi negara seperti rumah besar yang penuh retakan dan lubang. Seharusnya, rumah itu bisa melindungi seluruh penghuninya, menyediakan keamanan, kenyamanan, serta menjaga kesejahteraan. Namun, lubang-lubang tikus yang dibiarkan membuat rumah itu kehilangan fungsi aslinya.
Celaka Sistemik, Bukan Sekadar Oknum
Banyak pihak masih menganggap kebocoran negara terjadi karena "oknum". Narasi ini terus didorong agar publik tidak menuntut perubahan sistem. Padahal, menurut Cak Nun, kerusakan ini sudah bersifat sistemik, bukan sekadar ulah individu.
"Kalau lubang-lubangnya tetap dibiarkan, betapapun kita ganti pemimpin, hasilnya akan sama saja. Karena masalahnya bukan siapa presidennya, tapi bagaimana sistem itu dibangun," tegas Cak Nun.
Revolusi Damai Ketatanegaraan, Bukan Kekerasan
Cak Nun tidak menyerukan revolusi berdarah atau kudeta kekuasaan. Yang beliau maksud adalah revolusi damai ketatanegaraan: pembenahan total struktur konstitusi agar kedaulatan benar-benar kembali ke tangan rakyat.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan, di antaranya:
1. Menyusun ulang desain ketatanegaraan yang memisahkan tegas fungsi negara dan pemerintah, sehingga rakyat tetap memiliki kontrol penuh.
2. Merevisi undang-undang dan aturan yang selama ini menjadi sarang "lubang tikus".
3. Membentuk Dewan Kenegarawanan sebagai "arsitek" moral dan hukum, yang berisi orang-orang jujur, nasionalis murni, dan terbukti tidak terlibat dalam perusakan bangsa.
4. Mengadakan musyawarah nasional yang melibatkan empat pilar bangsa: kaum intelektual, agama/spiritual, TNI/Polri, serta budaya/adat, yang benar-benar mewakili rakyat.
Kembalikan Kedaulatan
Kedaulatan negara seharusnya ada di tangan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, kedaulatan itu telah dirampas oleh elite partai politik, oligarki, dan berbagai kelompok kepentingan yang bersembunyi di balik partai politik.
Jika revolusi ketatanegaraan luar biasa tidak segera dilakukan, rakyat akan terus menanggung beban. Pajak naik, harga kebutuhan pokok melonjak, layanan publik semakin mahal dan sulit diakses, sementara para elite terus hidup mewah.
"Jangan terus-menerus biarkan rakyat mendorong mobil rusak bernama negara ini. Kalau mesinnya tidak diturunkan dan diperbaiki, selamanya rakyat hanya jadi kuli pendorong," tutur Cak Nun.
Penutup
Indonesia memerlukan pemimpin berjiwa besar yang mau mendengar, mau belajar, dan berani memimpin revolusi damai ketatanegaraan. Sebab tanpa perubahan mendasar, rakyat hanya akan menjadi penonton di tanah airnya sendiri, menunggu giliran tertindas di bawah reruntuhan "rumah bocor" bernama negara.
Kini saatnya kita tidak lagi hanya marah atau mengeluh. Kini saatnya kita semua bergerak bersama: menuntut, merancang, dan mengeksekusi revolusi ketatanegaraan agar kedaulatan benar-benar kembali ke tangan rakyat.