Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Indonesia bukan sekadar negara kepulauan. Ia adalah bentangan peradaban, gugusan budaya, dan medan perjuangan yang luar biasa luas. Dalam salah satu refleksinya, budayawan Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun menegaskan, “Indonesia ini urusan besar sekali, terlalu besar bahkan. Saking besarnya, terlalu gemuk sampai tidak bisa berjalan. Terus tersandung-sandung. Tidak karuan.”
Cak Nun menggambarkan Indonesia bak "truk raksasa" yang butuh sopir mumpuni, bukan sekadar pengemudi biasa. “Kalau ini truk, ya ayo cari sopir truk yang menguasai truk. Lalu kalau ini bus, cari sopir bus. Kalau ini kereta api yang gerbongnya tidak jelas, ya cari masinis yang juga montir, yang mengerti seluruh hal mengenai kereta api,” tegasnya.
Analogi ini menampar keras kesadaran publik. Selama ini, masyarakat terlalu sering memilih pemimpin hanya berdasarkan popularitas dan pencitraan, bukan kapasitas dan keberanian moral. Bahkan, kata Cak Nun, di Indonesia sering kali “jangan maling” dianggap sebagai prestasi. “Lurah tidak maling, Pak Bupati tidak maling, itu sudah semestinya. Bukan lantas tidak maling jadi prestasi,” kritiknya.
Lebih jauh, Cak Nun menyinggung kondisi utang negara yang kerap dijadikan dalih seolah Indonesia negara miskin. Padahal, menurut beliau, bangsa ini pada dasarnya bukan bangsa pengutang. “Aslinya kita tidak utang. Mereka itu berutang kepada kita di tahun ’70-an, tapi mereka menutup legalitasnya di bank-bank dunia. Sehingga sekarang kita seolah-olah tidak punya apa-apa, kita jadi berutang,” jelasnya.
Indonesia Butuh Pemimpin Berjiwa Besar
Narasi ini menyadarkan kita bahwa masalah bangsa tidak hanya soal kekurangan materi, tetapi juga cara pandang yang keliru dan kepemimpinan yang tidak berjiwa besar. Indonesia, dengan wilayah membentang dari Sabang sampai Merauke, memerlukan pemimpin yang bukan hanya kuat secara teknis, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual, ketajaman intelektual, dan keluasan hati untuk mencintai rakyat tanpa pamrih.
Namun, lebih dari itu, pemimpin berjiwa besar juga harus berani memimpin revolusi damai ketatanegaraan. Revolusi damai ini bukan sekadar perubahan kosmetik atau perbaikan tambal sulam. Ia adalah gerakan kolektif yang bertujuan mengembalikan kedaulatan sepenuhnya ke tangan rakyat, membenahi struktur negara dari akar, serta menegakkan keadilan sosial secara nyata.
Pemimpin semacam ini bukan hanya mampu duduk di kursi kekuasaan, tetapi sanggup menggerakkan seluruh elemen bangsa menuju musyawarah kenegarawanan yang tulus. Sebuah musyawarah untuk menyusun ulang konstitusi yang lahir dari rahim rakyat sendiri, bukan sekadar akal-akalan elite politik.
“Siapa yang punya keberanian untuk mengerti negara?” tanya Cak Nun. Sebuah pertanyaan reflektif yang menampar para elite dan seluruh rakyat yang sering kali terbuai oleh janji palsu dan baliho gembar-gembor.
Cak Nun menegaskan, “Saya cinta kepada Indonesia dengan seluruh rakyatnya. Baik yang baik maupun yang buruk, saya cintai semuanya. Apa yang bisa saya lakukan adalah apa yang Allah izinkan untuk saya lakukan. Dan semua Allah yang mengatur. Allah punya skenario dan Allah punya lakon sendiri.”
Pesan ini menjadi alarm kebangsaan: Indonesia adalah negara besar yang tidak bisa diurus oleh pemimpin bermental kecil. Ia butuh sosok yang tidak hanya besar di panggung, tetapi berjiwa besar di hati, berani membawa rakyat menempuh jalan sulit, menegakkan kebenaran, dan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui revolusi damai ketatanegaraan.
Kini, tugas kita bukan hanya memilih, tetapi mendidik, mendukung, dan mengawal lahirnya pemimpin yang benar-benar berjiwa besar, pemimpin yang siap menuntun rakyat menuju rumah bangsa yang aman, adil, dan bermartabat.