Berita

Belum Sehari Menjabat Menkeu, Purbaya Dikritik Soal Respons Terhadap Tuntutan Rakyat
Berita Terbaru

Belum Sehari Menjabat Menkeu, Purbaya Dikritik Soal Respons Terhadap Tuntutan Rakyat

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Baru saja dilantik menggantikan Sri Mulyani, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa langsung menuai sorotan. Belum genap sehari duduk di kursi barunya, ia membuat pernyataan yang menyinggung hati publik: tuntutan 17+8 yang digaungkan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil dianggapnya hanya suara sebagian kecil rakyat.

Pernyataan ini keluar usai pelantikannya oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (8/9/2025). “Itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Mungkin sebagian merasa terganggu hidupnya. Masih kurang, ya,” kata Purbaya di kantor Kemenkeu. Ia menambahkan bahwa protes akan hilang dengan sendirinya bila pertumbuhan ekonomi 6–7 persen bisa dicapai. “Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak, dibandingkan mendemo,” ujarnya enteng.

Luka di Tengah Luka

Bagi publik, ucapan Purbaya adalah luka di atas luka. Tuntutan 17+8 bukan sekadar daftar keinginan, melainkan hasil dari aksi unjuk rasa besar-besaran yang menelan korban jiwa dan puluhan orang ditahan aparat. Ada darah mahasiswa Affan Kurniawan yang meninggal dalam aksi Agustus lalu. Ada jeritan buruh yang terancam PHK massal. Serta ada rakyat yang menanggung beban harga-harga naik tanpa kepastian perlindungan sosial.

Isi 17 tuntutan jangka pendek menyoroti masalah paling mendasar: dari penarikan TNI dari ranah sipil, penghentian kriminalisasi demonstran, hingga transparansi anggaran DPR dan pemenuhan upah layak. Sedangkan 8 tuntutan jangka panjang berbicara soal reformasi struktural, mulai dari DPR, partai politik, perpajakan, hingga peninjauan kebijakan ketenagakerjaan.

Menyebut semua itu sebagai “suara sebagian kecil rakyat” bukan hanya keliru, tapi juga meremehkan penderitaan yang nyata.

Kedaulatan yang Direduksi

Konstitusi jelas menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Namun, praktik politik hari ini justru memperlihatkan sebaliknya. Rakyat dianggap beban yang rewel, bukan pemilik sah negeri ini.

Bansos, program makan gratis, atau insentif fiskal bukanlah hadiah dari pemerintah. Itu semua adalah hak rakyat, hasil keringat mereka yang dipungut negara lewat pajak. Tetapi, dalam panggung politik elektoral, program tersebut dipolitisasi sebagai prestasi personal tokoh atau partai, seakan berasal dari kantong pribadi penguasa. Inilah bentuk penghinaan terhadap kecerdasan publik.

Cak Nun: Pemerintah Itu Pelayan

Budayawan Emha Ainun Nadjib, atau Cak Nun, sejak lama mengingatkan: pemerintah itu bukan tuan, melainkan pelayan rakyat. Negara hidup dari pajak dan sumber daya yang dihasilkan rakyat. Secara moral, justru pemerintahlah yang “miskin”, bergantung pada rakyat.

Ketika pejabat merasa lebih tinggi, lebih layak memerintah, dan berlagak seolah pemilik negara, di situlah keangkuhan kekuasaan merusak watak republik. Pernyataan Purbaya hanya mempertegas betapa mental “tuan” masih bercokol di kursi kekuasaan.

Bukan Perbaikan Prosedural

Kekacauan relasi negara–rakyat tidak akan selesai hanya dengan janji pertumbuhan ekonomi. Rakyat membutuhkan pemurnian kembali makna kedaulatan. Dibutuhkan revolusi luar biasa dalam ketatanegaraan: konstitusi harus benar-benar kembali menjadi milik rakyat, bukan alat penguasa.

Pejabat harus menanggalkan mental tuan. Mereka digaji oleh rakyat, bekerja untuk rakyat, dan bertanggung jawab kepada rakyat. Jika ini tidak dipahami, rakyat akan terus ditipu oleh simbol dan narasi, sementara pemerintah yang sejatinya bergantung pada rakyat akan terus berlagak seolah dermawan.

Penutup

Blunder Purbaya di hari pertamanya menjadi Menkeu adalah cermin betapa pemerintah masih jauh dari kesadaran itu. Meremehkan tuntutan rakyat hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Karena pada akhirnya, rakyatlah pemilik negeri ini. Pemerintah hanyalah pelayan, bukan tuan.