Berita

Amnesti dan Abolisi: Tanda Sengkarut Tata Negara di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan
Berita Terbaru

Amnesti dan Abolisi: Tanda Sengkarut Tata Negara di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Ketika Presiden Prabowo Subianto mengajukan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Thomas Lembong, publik dikejutkan oleh kecepatan proses dan lemahnya ruang kontrol publik atas keputusan yang begitu strategis. DPR pun menyetujui usulan itu dalam waktu singkat, seolah semuanya hanya formalitas prosedural. Yang tersisa di ruang demokrasi kita hanyalah satu pertanyaan besar: masihkah sistem hukum kita berdiri di atas keadilan, atau telah dikuasai oleh kekuasaan?

Amnesti dan abolisi memang hak prerogatif Presiden yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 14 ayat 2. Namun, dalam praktiknya, dua hak istimewa ini sering kali dipakai secara politis, bukan yuridis. Ketika keputusan pengadilan bisa dianulir oleh satu tangan kekuasaan eksekutif. Maka prinsip pemisahan kekuasaan (trias politica) bukan hanya dilanggar, tetapi dirusak dari akarnya.

Kasus Hasto dan Tom Lembong menunjukkan betapa amburadulnya sistem tata negara kita saat ini. Lembaga peradilan yang seharusnya independen justru berada di bawah bayang-bayang kekuasaan politik. DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan malah menjadi stempel kekuasaan eksekutif. Ini adalah tanda nyata bahwa tata negara Indonesia sedang dalam kondisi darurat struktural.

Pernyataan Cak Nun kembali relevan bahwa negara dan pemerintah tidak dibedakan dengan jelas. Pemerintah dianggap negara, dan negara dikendalikan layaknya perusahaan keluarga. Aparatur sipil negara dianggap harus tunduk pada pemerintah, padahal sejatinya mereka tunduk pada konstitusi negara, bukan presiden sebagai individu. Ketika semua fungsi negara ditundukkan pada kepentingan politik jangka pendek, maka tidak ada lagi ruang bagi keadilan sejati.

Cak Nun juga sering mengingatkan bahwa hukum tidak selalu identik dengan keadilan. Karena itu, hakim sejati adalah mereka yang menegakkan keadilan, bukan sekadar menjalankan hukum yang bisa direkayasa oleh kekuasaan. Tapi dalam sistem yang salah struktur seperti sekarang. Hakim pun terpaksa berjalan di atas rel yang dibangun oleh kekuasaan, bukan oleh konstitusi yang luhur.

Apa yang terjadi hari ini hanyalah gejala dari penyakit lama mengenai negara yang tidak memiliki struktur kenegaraan yang benar. Negara yang dibentuk di atas copy-paste sistem barat, hukum warisan kolonial, dan praktik kekuasaan transaksional, mustahil bisa melahirkan keadilan substantif.

Dan karena itu, satu-satunya solusi bukanlah sekadar reformasi hukum atau rotasi kekuasaan, tetapi perubahan total terhadap struktur ketatanegaraan. Kita harus membangun ulang sistem negara ini berdasarkan nilai-nilai yang melampaui ego partai dan kepentingan kekuasaan. Sistem yang berlandaskan Konstitusi Langit, konstitusi yang bersumber dari kesadaran spiritual, kejujuran nurani, dan keberpihakan mutlak kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Selama struktur negara masih membiarkan kekuasaan eksekutif mengintervensi hukum, selama DPR hanya menjadi perpanjangan tangan partai, selama rakyat hanya dijadikan alat legitimasi lima tahunan, maka jangan berharap keadilan bisa hadir. Dan jangan kaget jika ke depan, kasus amnesti dan abolisi bukan menjadi pengecualian, melainkan menjadi pola tetap dalam pemerintahan yang kehilangan arah.

Sudah saatnya kita memilih: melanjutkan kebobrokan ini, atau memulai revolusi struktural menuju tata negara yang benar-benar berpihak pada rakyat dan dituntun oleh langit.