Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Gelombang kemarahan rakyat kembali pecah di jagat maya. Dalam sepekan terakhir, muncul daftar 17 tuntutan mendesak untuk satu minggu ke depan, ditambah 8 tuntutan jangka panjang dalam setahun. Dari penarikan TNI ke barak, penghentian kekerasan aparat, transparansi anggaran DPR, hingga reformasi perpajakan dan penguatan lembaga pengawas, semua terangkum dalam tagar dan unggahan yang viral di media sosial.
Sekilas, tuntutan ini terlihat wajar, masuk akal, bahkan sejalan dengan cita-cita demokrasi. Namun jika dicermati lebih dalam, seluruh daftar ini hanya akan berakhir sebagai seruan kosong jika struktur ketatanegaraan Indonesia tidak terlebih dahulu dibenahi.
Tuntutan Rakyat yang Menyentuh Simptom
Daftar 17 tuntutan mingguan berisi hal-hal konkret: tarik TNI dari pengamanan sipil, hentikan kekerasan polisi, bebaskan demonstran, batalkan kenaikan gaji DPR, hingga buka dialog dengan buruh dan mahasiswa. Sedangkan 8 tuntutan tahunan berorientasi pada reformasi struktural: bersihkan DPR, reformasi partai politik, tegakkan UU perampasan aset, hingga menata ulang kebijakan ekonomi.
Semua ini benar adanya. Tapi persoalannya: tuntutan ini hanya menyentuh simptom, bukan akar penyakit. Mengapa? Karena penyakit utamanya ada pada struktur ketatanegaraan yang amburadul sejak Amandemen UUD 1945 ketiga tahun 2001.
Negara Sebagai Keluarga: Analogi Broken Home
Untuk memahami situasi ini, mari gunakan analogi rumah tangga.
Idealnya, rumah tangga ini bahagia ketika suami (MPR) setia pada istri (rakyat), anak (Pancasila) dirawat bersama, dan asisten rumah tangga (Presiden) bekerja sesuai perintah, bukan menikah dengan suami. Namun sejak amandemen ketiga UUD 1945, Presiden justru “dinikahkan” dengan MPR. Sejak itu, asisten rumah tangga naik derajat menjadi pasangan sah, sementara istri, rakyat tersingkir dari peran inti.
Akibatnya, negara ini menjadi keluarga broken home. MPR tidak lagi mandataris rakyat, Presiden tidak lagi sekadar pelayan, dan rakyat kehilangan perlindungan.
Mengapa 17+8 Tuntutan Mustahil Terwujud
Dengan kondisi struktur yang cacat ini, mari kita jujur:
Singkatnya: semua tuntutan viral itu akan mentok pada dinding struktur yang rusak.
Jalan yang Benar: Reformasi Struktur
Jika mahasiswa dan rakyat sungguh ingin perubahan, arah demo seharusnya bukan sekadar ke gedung DPR, melainkan ke akar persoalan: struktur ketatanegaraan.
Tanpa perubahan ini, 17+8 tuntutan rakyat hanyalah catatan utopis. Ia mungkin viral, mungkin mengguncang jagat maya, tetapi tidak akan mengubah realitas.
Penutup
Cak Nun pernah berkata: “Di negara ini rakyat tidak dilindungi siapa pun.” Kata-kata itu kembali terbukti. Bahkan jika DPR dibubarkan, bahkan jika semua anggotanya tumbang, rakyat tetap tidak berdaulat. Gedung bisa dibangun lagi, kursi bisa diisi ulang, tetapi struktur yang salah akan melahirkan kerusakan baru.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah menata ulang fondasi rumah tangga bangsa. Jika tidak, Indonesia akan tetap menjadi keluarga broken home: gaduh di luar, rapuh di dalam. Dan 17+8 tuntutan rakyat itu, sekali pun benar, akan terus mustahil terwujud.