Berita

Tuntutan 17+8, Kapan Bisa Terpenuhi?
Berita Terbaru

Tuntutan 17+8, Kapan Bisa Terpenuhi?

Masih inget kan, akhir Agustus 2025, jalanan Jakarta penuh sama lautan massa? Dari situ lahir dua simbol yang meledak di medsos. Brave Pink dan Hero Green. Brave Pink, ibu berhijab pink yang berdiri sendirian di depan DPR cuma bawa bendera merah putih. Lembut tapi nekat dan langsung jadi lambang keberanian rakyat sipil. Hero Green, lahir dari tragedi. Affan Kurniawan, driver ojol, tewas dilindas kendaraan Brimob. Jaket hijau ojol yang biasanya cuma tanda kerja keras, mendadak jadi simbol solidaritas rakyat kecil.

Nah, dari momentum itu muncul yang namanya 17+8 Tuntutan Rakyat. Isinya? PR pemerintah yang disusun langsung sama rakyat. Ada 17 tuntutan kilat yang harusnya kelar tanggal 5 September, ditambah 8 agenda jangka panjang sampai tahun depan. Semuanya tentang keadilan, mulai dari tarik TNI dari tugas sipil, usut kematian Affan, stop kekerasan polisi, bebaskan demonstran, transparansi anggaran DPR, sampai perlindungan buruh biar nggak gampang di-PHK.

Tapi apa kabar sekarang? Udah lewat berminggu-minggu, pemerintah seolah-olah nggak pernah nerima PR itu. Bukannya ngerjain, malah pura-pura nggak baca. Ada yang bilang, “Ah itu suara sebagian kecil rakyat.” Bahkan ada pejabat yang nyeletuk, kalau ekonomi lagi bagus, rakyat bakal sibuk kerja dan lupa demo. Memang benar, tapi momennya nggak pas.

Padahal jelas, 17+8 itu bukan iseng-iseng. Itu teriakan rakyat yang capek disuruh sabar terus. Tapi sayangnya, yang di atas lebih milih cari cara bikin orang lupa, daripada jujur hadapin masalah. Kritik dianggap angin lalu, PR rakyat dibuang ke tong sampah kekuasaan.

Kebiasaan Pejabat yang Pura-Pura Budek

17+8 bukan satu-satunya yang diabaikan. Dari dulu, suara rakyat sering banget diperlakukan sama: harga sembako naik, kasus pelanggaran HAM nggak pernah tuntas, buruh nuntut upah layak tapi tiap tahun cuma jadi bahan pidato. Ujung-ujungnya? Rakyat yang harus sabar lagi, sabar lagi.

Kalau kondisi Indonesia sekarang dianalogikan tubuh manusia, rasanya wajar kalau banyak orang bilang pemerintah udah budek.

Kepala diibaratkan MPR. Kepala seharusnya mikir jernih dan ngasih arah. Tapi MPR sudah lama kehilangan peran. Makanya, bagian mata dan telinganya tertutup. Bahkan ikut sakit gara-gara kasus korupsi di Sekjen MPR. Kepala yang harusnya menuntun, malah bingung sendiri.

DPR mirip dengan syaraf. Syaraf fungsinya ngerasain dan ngontrol gerak tubuh. Tapi DPR malah mati rasa. Bukannya ngontrol jalannya pemerintahan, mereka sibuk naikin tunjangan, terlibat korupsi, bahkan ada yang sempat menghina rakyat dengan sebutan tolol. Nggak heran rakyat ngerasa pengawasnya udah lumpuh.

Presiden bisa dianalogikan sebagai kaki. Tugasnya jalan sesuai arahan kepala. Tapi karena kepala dan syaraf lemah, kaki justru ngatur arah sendiri. Presiden akhirnya jadi pusat kekuasaan, bikin keputusan besar tanpa kontrol memadai.

Dan tubuh ini tentu punya pemilik, yaitu rakyat. Suara rakyat seharusnya mengalir lancar seperti darah supaya organ tetap hidup. Sayangnya, suara itu sering tersumbat birokrasi, hanya benar-benar dianggap penting saat pemilu, lalu dilupakan lagi.

Jadi kalau sekarang rakyat teriak minta keadilan, wajar kalau pemerintah terasa budek. Kepala nggak bisa mikir jernih, syaraf sudah mati rasa, kaki jalan seenaknya, dan suara rakyat malah disumbat. Akhirnya negara ini jalan terus, tapi tanpa peduli arah maupun suara pemilik tubuhnya sendiri.

Kalau Indonesia Sehat Seperti Tubuh Manusia

Harusnya yang namanya pemerintah itu dengerin suara rakyat, lalu berbenah kalau ada kritik. Bukan malah pura-pura nggak tahu.

Kepala harus jernih dan waras. MPR benar-benar bisa mikir jauh ke depan, ngasih arah jelas buat bangsa, bukan malah keblinger atau sibuk dengan kepentingan sesaat. Kepala dengan mata terbuka dan sehat bikin tubuh nggak salah langkah.

Syaraf harus peka. DPR bisa merasakan apa yang rakyat alami dan ngontrol gerak tubuh negara. Kalau ada kebijakan yang ngawur, langsung dicek dan diingatkan. Kalau ada rakyat yang teriak kesusahan, syaraf langsung nangkep sinyal itu, bukan malah cuek.

Kaki harus kuat tapi terarah. Presiden memang bertugas jalan, bergerak cepat, tapi tetap mengikuti arahan kepala dan dikontrol syaraf. Jadi setiap langkah jelas tujuannya, bukan asal maju.

Darah harus mengalir lancar. Rakyat didengar suaranya setiap saat, bukan cuma lima tahun sekali pas pemilu. Aspirasi rakyat jadi energi utama yang bikin tubuh tetap hidup, segar, dan bertenaga.

Kalau semua organ nyambung, tubuh nggak bakal jalan meraba-raba dalam gelap. Matanya bisa terbuka lebar, jalannya mantap, dan yang paling penting: nggak gampang jatuh ke jurang.

Solusi: Membuka Mata Tubuh Republik

Solusi utamanya adalah membuka penutup mata. Dan penutup mata ini hanya bisa dilepas oleh sosok yang benar-benar negarawan.

Negarawan bukan sekadar pejabat. Mereka harus bijaksana, berwibawa, visioner, dan paham betul soal kenegaraan, pemerintahan, dan politik. Yang lebih penting lagi, mereka harus berkomitmen untuk merancang kebijakan dengan jujur, transparan, efisien, dan selalu berpihak pada keadilan serta kesejahteraan rakyat.

Negarawan sejati ini terdiri dari empat pilar negara:

  • Intelektual yang jadi cahaya pengetahuan, ngasih arah dengan gagasan jernih dan berpihak ke rakyat.
  • Budayawan dan tokoh adat yang menjaga jati diri bangsa, biar Indonesia nggak kehilangan akar dan nilai luhur.
  • Rohaniawan yang jadi kompas moral, memastikan setiap langkah negara sesuai etika dan keadilan.
  • TNI dan Polri yang benar-benar netral, berani, dan fokus menjaga keamanan rakyat, bukan malah jadi alat politik.

Kalau empat pilar ini bersatu, dipimpin oleh negarawan sejati, penutup mata bisa dilepas. Saat mata terbuka, kepala bisa kembali mengarahkan dengan benar, syaraf bisa mengontrol gerak tubuh, tangan dan kaki bisa bekerja sesuai kebutuhan tubuh.

Dalam konteks Indonesia, artinya MPR harus berani berdiri lagi sebagai penjaga kedaulatan rakyat, DPR harus bener-bener jalanin fungsi pengawasan dengan tegas dan transparan, dan Presiden harus disiplin melaksanakan keputusan, sebagai pengurus negara, bukan penguasa tunggal.

Kalau ini terwujud, tubuh republik nggak lagi jalan meraba-raba dalam gelap. Matanya terbuka, jalannya mantap, dan rakyat bisa ikut maju tanpa takut jatuh ke jurang.