Berita

Sri Mulyani dan Sesat Pikir Menyamakan Pajak dengan Zakat
Berita Terbaru

Sri Mulyani dan Sesat Pikir Menyamakan Pajak dengan Zakat

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 13 Agustus 2025 yang menyamakan manfaat pajak dengan zakat dan wakaf bukan hanya keliru secara logika, tetapi juga berbahaya karena bisa digunakan untuk (kejahatan) politik. Ia menyebut pajak sebagai salah satu cara menyalurkan “hak orang lain” dalam harta kita, sejajar dengan zakat dan wakaf. Pernyataan ini dilontarkan di forum ekonomi syariah, sebuah panggung strategis untuk membentuk opini publik.

Namun, publik perlu sadar: ini bukan sekadar salah bicara. Ini adalah framing yang sengaja dibangun. Dengan menyamakan pajak dan zakat, Sri Mulyani berupaya memberi legitimasi moral-religius pada kebijakan pajak yang selama ini sering dikeluhkan sebagai memberatkan, rumit, dan rawan penyalahgunaan.

Padahal, zakat dan pajak berbeda secara fundamental. Zakat adalah ibadah yang diatur jelas dalam syariat, dengan perhitungan sederhana, transparan, dan langsung menyasar penerima manfaat. Zakat harta 2,5%, zakat pertanian 5–10%, hasil tambang 20%, zakat fitrah 1 sha’. Selesai. Tidak ada ribuan aturan turunan yang membingungkan.

Sementara pajak di Indonesia adalah hutan rimba regulasi. Ada 6.145 aturan pajak (termasuk yang sudah tak berlaku tapi masih terpampang di situs DJP), dengan puluhan ribu pasal. Wajib pajak dituntut memahami semua, sementara aparat punya celah besar untuk menafsirkan sesuai kepentingan. Banyak analis menyebut sistem pajak kita “rumit, ruwet, dan menakutkan”.

Lebih parah lagi, pajak di Indonesia tidak jarang digunakan sebagai alat kebijakan fiskal untuk menutup lubang APBN yang jebol karena pemborosan dan salah prioritas. Ingat, di tahun 2025 ini saja, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo lebih dari Rp800 triliun, sementara program populis seperti Makan Bergizi Gratis membutuhkan Rp171 triliun. Semua butuh uang cepat. Dan siapa yang paling gampang diperas? Rakyat.

Di sinilah framing “pajak sama dengan zakat” menjadi berbahaya. Ini seperti ingin mengatakan, “Bayarlah pajak, karena itu ibadah.” Padahal, realitasnya jauh berbeda. Pajak bisa saja kembali ke rakyat, tapi juga bisa tersedot untuk proyek gagal, belanja birokrasi berlebihan, atau bahkan kebocoran yang tak pernah terungkap.

Hadis Nabi SAW jelas memperingatkan: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim.” (HR. Abu Dawud). Kata kuncinya: zalim. Dan zalim itu terjadi ketika pungutan melebihi kemampuan rakyat, tidak transparan penggunaannya, atau digunakan untuk kepentingan segelintir elite.

Sebagai Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, saya menegaskan menyamakan pajak dengan zakat tanpa membenahi sistemnya adalah bentuk manipulasi narasi. Jika Sri Mulyani ingin meminjam wibawa zakat untuk memoles citra pajak, seharusnya ia meniru prinsip zakat: hitungan jelas, penerima manfaat terdata, distribusi transparan, dan tanpa potongan yang menguap di jalan.

Selama sistem pajak kita masih ruwet, penuh celah penyalahgunaan, dan sering digunakan untuk menutup lubang akibat salah urus APBN, publik berhak menolak disamakan dengan umat yang taat membayar zakat. Karena zakat adalah ibadah suci, sementara pajak, dalam kondisi sekarang, masih terlalu kotor untuk disejajarkan.