Berita

Pemeriksaan Pajak Lewat Waktu adalah Maladministrasi: Ujian Konsistensi Negara Hukum Indonesia
Berita Terbaru

Pemeriksaan Pajak Lewat Waktu adalah Maladministrasi: Ujian Konsistensi Negara Hukum Indonesia

Oleh: Rinto Setiyawan, A. Md., CTP ( Ketua Umum Ikatan Wajib pajak Indonedia sekaligus Anggota Majelis Tinggi Partai X)

beritax.id - Negara hukum (rechtsstaat) merupakan prinsip fundamental dalam konstitusi Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Prinsip ini mewajibkan seluruh organ negara, termasuk otoritas fiskal, untuk tunduk pada hukum dan prosedur yang berlaku. Namun, dalam praktik, tidak sedikit pelanggaran prosedural yang justru dilegitimasi secara administratif, salah satunya adalah pemeriksaan pajak yang dilakukan melebihi batas waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Tulisan ini menegaskan bahwa tindakan pemeriksaan yang melampaui tenggat waktu bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi merupakan bentuk maladministrasi yang mencederai asas due process of law. Oleh karena itu, setiap Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan atas dasar pemeriksaan yang tidak sah secara hukum wajib dinyatakan batal demi hukum.

Asas Legalitas dan Batas Waktu Pemeriksaan

UU KUP secara tegas mengatur tenggat waktu pemeriksaan:

  • Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  • Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

Peratturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 15 tahun 2025 mebgatur detail tenggat waktu pemeriksaan sesuai amanat pasal 31, UU KUP :

  • Pasal 6 ayat (1) menyatakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:

a. jangka waktu pengujian; dan

b. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.

  • Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa Jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama:

a. 5 (lima) bulan untuk Pemeriksaan Lengkap;

b. 3 (tiga) bulan untuk Pemeriksaan Terfokus; dan

c. 1 (satu) bulan untuk Pemeriksaan Spesifik,

terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Batas waktu ini bukanlah formalitas administratif semata, melainkan merupakan instrumen perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak dari penyalahgunaan kekuasaan. Jika otoritas pajak melampaui batas tersebut namun tetap melanjutkan pemeriksaan dan menerbitkan SKP, maka jelas terjadi pelanggaran terhadap asas legalitas dan asas kepastian hukum, dan karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sah.

Kualifikasi Sebagai Maladministrasi

UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa maladministrasi meliputi:

"Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, penggunaan prosedur yang tidak semestinya, kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik."

Dengan demikian, pemeriksaan yang melewati batas waktu yang telah ditetapkan secara hukum dengan sendirinya memenuhi unsur-unsur maladministrasi, karena:

  • Melanggar ketentuan undang-undang (UU KUP);
  • Menyalahgunakan atau mengabaikan prosedur;
  • Menghilangkan perlindungan prosedural bagi Wajib Pajak.

Pandangan Akademik dan Praktisi dalam Seminar Pajak

Dalam sebuah seminar perpajakan tanggal 27 Mei 2025 di Hotel Hariston, Jakarta Utara bertema “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang”, sejumlah pakar hukum dan praktisi pajak menyampaikan kritik keras terhadap praktik ini dan menyuarakan urgensi pemulihan integritas prinsip negara hukum.

1. Dr. Richard Burton (Iustia Pro Tax Law Firm)

Dr. Burton mengecam keras Putusan MA No. 1633/B/PK/Pjk/2024 yang menilai bahwa pemeriksaan di luar batas waktu masih sah selama masih dalam jangka waktu penetapan lima tahun. Ia menilai putusan tersebut:

  • Mencampuradukkan daluwarsa pemeriksaan dan daluwarsa penetapan, padahal secara normatif dan logika hukum keduanya memiliki struktur berbeda;
  • Menghapus perlindungan prosedural Wajib Pajak, dan dengan demikian melanggar asas fair trial;
  • Mengabaikan prinsip bahwa prosedur yang cacat tidak dapat melahirkan produk hukum yang sah, termasuk SKP.

2. Prof. Gilbert Rely (Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia atau PERKOPPI)

Prof. Gilbert mempertanyakan apakah batas waktu pemeriksaan hanya dianggap sebagai tolok ukur kinerja internal DJP. Ia menegaskan bahwa:

  • Ketentuan waktu tersebut bersumber dari UU KUP dan PMK, bukan hanya SOP internal;
  • Penafsiran DJP yang melonggarkan ketentuan tersebut berpotensi merusak asas kepastian hukum dan kepercayaan publik;
  • Ia mengingatkan bahwa “hukum bukan untuk dipelintir menjadi pembenar tindakan sepihak fiskus”, dan mengajak akademisi menjaga integritas hukum perpajakan.

3. Dr. Alessandro Rey (PERKUMPULAN PROFESI PENGACARA DAN PRAKTISI PAJAK INDONESIA atau P5I)

Dr. Alessandro menyampaikan kritik tajam dengan mengangkat istilah Taxstaat, yaitu negara yang menempatkan penerimaan pajak di atas hukum. Ia menyampaikan bahwa:

  • Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara pemungut pajak semata;
  • Ketentuan batas waktu pemeriksaan adalah jaminan perlindungan hukum, bukan sekadar batas administratif;
  • Ia juga menyoroti bahwa larangan rekaman dalam proses pemeriksaan melanggar prinsip transparansi dan PER-07/2017, dan merupakan kemunduran dalam penegakan akuntabilitas pemeriksaan pajak.

4. Yeka Hendra Fatika (Anggota Ombudsman RI)

Yeka menyampaikan secara tegas bahwa:

  • Pemeriksaan pajak yang melewati batas waktu adalah bentuk nyata maladministrasi, karena pelayanan perpajakan termasuk dalam kategori pelayanan publik;
  • Ia menyoroti budaya birokrasi yang menolak kritik dan pengelolaan pengaduan yang hanya formalitas;
  • Ia menutup dengan pernyataan yang mengunci status pelanggaran tersebut:

"Regulasi itu mengikat ke dalam dan ke luar. Kalau pemeriksaan lewat batas waktu, maka itu jelas-jelas maladministrasi."

Implikasi Hukum: SKP yang Tidak Sah Harus Dibatalkan

Dalam doktrin hukum administrasi negara, keputusan yang lahir dari proses cacat tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Maka:

SKP yang diterbitkan dari pemeriksaan yang lewat batas waktu secara yuridis adalah batal demi hukum.

Putusan pengadilan yang menoleransi pelanggaran prosedural tersebut patut dikritisi, karena menciptakan preseden yang merusak prinsip due process of law dan memperlemah perlindungan hukum bagi rakyat sebagai subjek pajak.

mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan yang Anda maksud adalah Pasal 66, yang menyatakan bahwa keputusan yang mengandung cacat wewenang, prosedur, atau substansi dapat dibatalkan. Mari kita integrasikan dengan rapi dan akademik dalam bagian "Implikasi Hukum: SKP yang Tidak Sah Harus Dibatalkan":

Implikasi Hukum: SKP yang Tidak Sah Harus Dibatalkan

Putusan pengadilan yang menoleransi pelanggaran prosedural tersebut patut dikritisi, karena menciptakan preseden yang merusak prinsip due process of law dan memperlemah perlindungan hukum bagi rakyat sebagai subjek pajak.

Dalam doktrin hukum administrasi negara, sebuah keputusan tata usaha negara (termasuk SKP dalam konteks administratif perpajakan) yang lahir dari proses cacat, baik dalam hal prosedur, wewenang, maupun substansi, tidak memiliki kekuatan hukum yang sah dan dapat dibatalkan. Prinsip ini ditegaskan secara eksplisit dalam:

Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan:
"Keputusan dan/atau tindakan dapat dibatalkan apabila terdapat cacat wewenang, cacat prosedur, dan/atau cacat substansi."

Lebih lanjut, ayat (2) menyebutkan:

"Cacat wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pejabat yang menetapkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan tidak memiliki kewenangan;
b. secara substansi bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
c. terdapat penyalahgunaan wewenang.
"

Dengan demikian, SKP yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan yang melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh UU KUP secara nyata mengandung cacat prosedur dan cacat substansi. Prosedur yang dilanggar adalah batas waktu pemeriksaan yang bersifat mengikat, dan substansi yang dilahirkan adalah keputusan yang lahir dari proses tidak sah. Maka:

SKP tersebut memenuhi unsur pembatalan administratif berdasarkan Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan.

Hal ini memperkuat argumen bahwa pemeriksaan yang melewati batas waktu tidak bisa dianggap sah, apalagi dijadikan dasar penerbitan SKP, karena melanggar prosedur hukum yang bersifat imperatif (mandatory procedural law), bukan sekadar administratif formalitas.

Sebagai konsekuensi dari prinsip rule of law dan due process, maka satu-satunya sikap hukum yang konsisten adalah:

  • Membatalkan SKP tersebut, dan;
  • Mengembalikan hak-hak Wajib Pajak yang dirugikan oleh tindakan administrasi yang cacat tersebut.

Penutup: Negara Hukum yang Konsisten atau Taxstaat yang Mengaburkan Hukum?

Seminar ini menunjukkan bahwa problem pemeriksaan pajak lewat batas waktu bukan isu teknis, melainkan persoalan besar dalam konsistensi hukum, keadilan prosedural, dan etika administrasi negara. Para pakar hukum, konsultan pajak, dan perwakilan masyarakat bersuara satu: negara tidak boleh menggunakan hukum secara sepihak, apalagi untuk melanggengkan praktik pemeriksaan yang melanggar prosedur.

Jika Indonesia benar-benar menempatkan diri sebagai negara hukum, maka:

  • Setiap bentuk pelanggaran prosedur harus dianggap serius;
  • Produk hukum yang cacat harus dibatalkan;
  • Aparat negara yang menyalahgunakan kewenangan harus dipertanggungjawabkan.

Negara hukum hanya hidup bila semua pihak — termasuk pengadilan, fiskus, dan pembuat kebijakan  konsisten menjalankan hukum, bukan menyesuaikannya demi target fiskal.

Referensi Hukum

  • Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP
  • Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
  • Undang-Undang NO 30 TAHUN 2014 TENTANG Administrasi Pemerintahan
  • UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
  • Peraturan Dirjen Pajak PER-07/PJ/2017
  • Putusan MA No. 1633/B/PK/Pjk/2024
  • Catatan Seminar Nasional Perpajakan [27 Mei 2025, Hariston Hotel Jakarta Utara]