beritax.id - Negara hukum (rechtsstaat) merupakan prinsip fundamental dalam konstitusi Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Prinsip ini mewajibkan seluruh organ negara, termasuk otoritas fiskal, untuk tunduk pada hukum dan prosedur yang berlaku. Namun, dalam praktik, tidak sedikit pelanggaran prosedural yang justru dilegitimasi secara administratif, salah satunya adalah pemeriksaan pajak yang dilakukan melebihi batas waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Tulisan ini menegaskan bahwa tindakan pemeriksaan yang melampaui tenggat waktu bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi merupakan bentuk maladministrasi yang mencederai asas due process of law. Oleh karena itu, setiap Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan atas dasar pemeriksaan yang tidak sah secara hukum wajib dinyatakan batal demi hukum.
UU KUP secara tegas mengatur tenggat waktu pemeriksaan:
Peratturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 15 tahun 2025 mebgatur detail tenggat waktu pemeriksaan sesuai amanat pasal 31, UU KUP :
a. jangka waktu pengujian; dan
b. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
a. 5 (lima) bulan untuk Pemeriksaan Lengkap;
b. 3 (tiga) bulan untuk Pemeriksaan Terfokus; dan
c. 1 (satu) bulan untuk Pemeriksaan Spesifik,
terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Batas waktu ini bukanlah formalitas administratif semata, melainkan merupakan instrumen perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak dari penyalahgunaan kekuasaan. Jika otoritas pajak melampaui batas tersebut namun tetap melanjutkan pemeriksaan dan menerbitkan SKP, maka jelas terjadi pelanggaran terhadap asas legalitas dan asas kepastian hukum, dan karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sah.
UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa maladministrasi meliputi:
"Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, penggunaan prosedur yang tidak semestinya, kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik."
Dengan demikian, pemeriksaan yang melewati batas waktu yang telah ditetapkan secara hukum dengan sendirinya memenuhi unsur-unsur maladministrasi, karena:
Dalam sebuah seminar perpajakan tanggal 27 Mei 2025 di Hotel Hariston, Jakarta Utara bertema “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang”, sejumlah pakar hukum dan praktisi pajak menyampaikan kritik keras terhadap praktik ini dan menyuarakan urgensi pemulihan integritas prinsip negara hukum.
Dr. Burton mengecam keras Putusan MA No. 1633/B/PK/Pjk/2024 yang menilai bahwa pemeriksaan di luar batas waktu masih sah selama masih dalam jangka waktu penetapan lima tahun. Ia menilai putusan tersebut:
Prof. Gilbert mempertanyakan apakah batas waktu pemeriksaan hanya dianggap sebagai tolok ukur kinerja internal DJP. Ia menegaskan bahwa:
Dr. Alessandro menyampaikan kritik tajam dengan mengangkat istilah Taxstaat, yaitu negara yang menempatkan penerimaan pajak di atas hukum. Ia menyampaikan bahwa:
Yeka menyampaikan secara tegas bahwa:
"Regulasi itu mengikat ke dalam dan ke luar. Kalau pemeriksaan lewat batas waktu, maka itu jelas-jelas maladministrasi."
Dalam doktrin hukum administrasi negara, keputusan yang lahir dari proses cacat tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Maka:
SKP yang diterbitkan dari pemeriksaan yang lewat batas waktu secara yuridis adalah batal demi hukum.
Putusan pengadilan yang menoleransi pelanggaran prosedural tersebut patut dikritisi, karena menciptakan preseden yang merusak prinsip due process of law dan memperlemah perlindungan hukum bagi rakyat sebagai subjek pajak.
mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan yang Anda maksud adalah Pasal 66, yang menyatakan bahwa keputusan yang mengandung cacat wewenang, prosedur, atau substansi dapat dibatalkan. Mari kita integrasikan dengan rapi dan akademik dalam bagian "Implikasi Hukum: SKP yang Tidak Sah Harus Dibatalkan":
Putusan pengadilan yang menoleransi pelanggaran prosedural tersebut patut dikritisi, karena menciptakan preseden yang merusak prinsip due process of law dan memperlemah perlindungan hukum bagi rakyat sebagai subjek pajak.
Dalam doktrin hukum administrasi negara, sebuah keputusan tata usaha negara (termasuk SKP dalam konteks administratif perpajakan) yang lahir dari proses cacat, baik dalam hal prosedur, wewenang, maupun substansi, tidak memiliki kekuatan hukum yang sah dan dapat dibatalkan. Prinsip ini ditegaskan secara eksplisit dalam:
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan:
"Keputusan dan/atau tindakan dapat dibatalkan apabila terdapat cacat wewenang, cacat prosedur, dan/atau cacat substansi."
Lebih lanjut, ayat (2) menyebutkan:
"Cacat wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pejabat yang menetapkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan tidak memiliki kewenangan;
b. secara substansi bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
c. terdapat penyalahgunaan wewenang."
Dengan demikian, SKP yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan yang melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh UU KUP secara nyata mengandung cacat prosedur dan cacat substansi. Prosedur yang dilanggar adalah batas waktu pemeriksaan yang bersifat mengikat, dan substansi yang dilahirkan adalah keputusan yang lahir dari proses tidak sah. Maka:
SKP tersebut memenuhi unsur pembatalan administratif berdasarkan Pasal 66 UU Administrasi Pemerintahan.
Hal ini memperkuat argumen bahwa pemeriksaan yang melewati batas waktu tidak bisa dianggap sah, apalagi dijadikan dasar penerbitan SKP, karena melanggar prosedur hukum yang bersifat imperatif (mandatory procedural law), bukan sekadar administratif formalitas.
Sebagai konsekuensi dari prinsip rule of law dan due process, maka satu-satunya sikap hukum yang konsisten adalah:
Seminar ini menunjukkan bahwa problem pemeriksaan pajak lewat batas waktu bukan isu teknis, melainkan persoalan besar dalam konsistensi hukum, keadilan prosedural, dan etika administrasi negara. Para pakar hukum, konsultan pajak, dan perwakilan masyarakat bersuara satu: negara tidak boleh menggunakan hukum secara sepihak, apalagi untuk melanggengkan praktik pemeriksaan yang melanggar prosedur.
Jika Indonesia benar-benar menempatkan diri sebagai negara hukum, maka:
Negara hukum hanya hidup bila semua pihak — termasuk pengadilan, fiskus, dan pembuat kebijakan konsisten menjalankan hukum, bukan menyesuaikannya demi target fiskal.