Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali menuai polemik. Alih-alih memperkuat pengawasan dan perlindungan lingkungan, perubahan aturan ini justru memunculkan pertanyaan besar soal keberpihakan negara. Publik menilai revisi tersebut lebih banyak membuka ruang kemudahan bagi pemegang izin tambang, sementara kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan semakin tersisih.
Salah satu kritik utama terhadap revisi UU Minerba adalah proses pembahasannya yang dinilai tertutup dan minim partisipasi publik. Masyarakat terdampak tambang, akademisi, dan kelompok lingkungan kerap tidak dilibatkan secara bermakna.
Ketika aturan yang berdampak luas disusun tanpa mendengar suara rakyat, legitimasi kebijakan pun patut dipertanyakan.
Dalam revisi tersebut, sejumlah ketentuan dinilai memberikan kemudahan bagi perusahaan tambang, mulai dari perpanjangan izin hingga fleksibilitas pengelolaan wilayah tambang. Di sisi lain, penguatan sanksi lingkungan dan perlindungan masyarakat sekitar tambang tidak terlihat sebanding.
Akibatnya, risiko pencemaran, konflik lahan, dan bencana ekologis berpotensi semakin besar, sementara rakyat menjadi pihak yang menanggung dampaknya.
Publik juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam revisi UU Minerba. Ketika pejabat publik memiliki relasi dengan industri ekstraktif, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan disusun bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk mengamankan keuntungan segelintir pihak.
Situasi ini memperkuat persepsi bahwa negara semakin menjauh dari mandat konstitusionalnya.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa revisi UU Minerba harus dilihat dari kacamata tanggung jawab negara kepada rakyat.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika regulasi justru melindungi kepentingan segelintir pejabat dan mengorbankan rakyat serta lingkungan, maka negara telah salah arah dalam menjalankan fungsinya,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan bahwa sumber daya alam bukan milik pejabat atau korporasi, melainkan milik rakyat.
Revisi UU Minerba yang kontroversial ini berisiko memperlebar jarak antara negara dan warga. Ketika aturan dibuat tanpa akuntabilitas dan empati, kepercayaan publik terhadap institusi negara semakin terkikis.
Tanpa koreksi serius, regulasi justru akan menjadi alat legalisasi ketidakadilan.
Untuk memastikan tata kelola sumber daya yang adil dan berkelanjutan, langkah-langkah berikut perlu segera ditempuh:
Revisi UU Minerba seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat. Namun jika kepentingan pejabat lebih dominan dibanding kepentingan publik, maka regulasi kehilangan makna keadilannya.
Negara yang benar adalah negara yang berani melindungi rakyatnya, melayani kepentingan umum, dan mengatur dengan integritas bukan negara yang tunduk pada kepentingan kekuasaan dan modal.