Sistem negara dapat dipahami seperti sebuah handphone. Setiap komponennya memiliki peran penting dan saling terhubung. Jika satu bagian rusak, seluruh sistem terganggu. Begitu pula dengan Indonesia, di mana presiden, lembaga negara, aparat, hukum, media, dan rakyat harus bekerja sesuai fungsinya agar negara berjalan sehat.
Melalui analogi handphone ini, kita bisa melihat bagaimana Indonesia seharusnya dikelola: efisien, transparan, dan benar-benar melayani rakyat sebagai pemiliknya.
Indonesia yang sehat dapat diibaratkan sebagai sebuah handphone yang bekerja dengan baik. Semua komponennya berfungsi sesuai peran masing-masing, saling mendukung, dan menghasilkan kinerja yang stabil. Rakyat sebagai pemiliknya bisa menggunakannya dengan nyaman karena setiap bagian bekerja untuk melayani, bukan membebani.
Akhirnya, rakyat adalah pemilik handphone itu sendiri. Mereka berhak menikmati manfaatnya, mengawasi jalannya sistem, dan menuntut perbaikan jika ada komponen yang tidak bekerja dengan benar.
Jika semua bagian berfungsi sebagaimana mestinya, Indonesia akan bekerja dengan lancar seperti handphone yang normal. Negara hadir untuk melayani rakyat, dan rakyat merasakan langsung manfaat dari sistem yang sehat dan adil.
Jika Indonesia ideal ibarat handphone normal, maka kondisi Indonesia hari ini lebih mirip handphone bermasalah. Semua komponennya masih ada, tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Alih-alih melayani pemiliknya yaitu rakyat, sistem di dalam ponsel justru sering menyusahkan dan menguras energi.
Handphone bernama Indonesia masih menyala, tetapi dalam mode darurat. Jika komponennya tidak segera dibersihkan dan diperbaiki, sistem ini akan terus menguras energi rakyat tanpa memberi manfaat nyata bagi kehidupan mereka.
Handphone yang rusak tidak bisa diperbaiki dengan cara dibiarkan atau hanya diganti casing. Begitu pula Indonesia. Diperlukan perbaikan menyeluruh agar sistem negara kembali berfungsi dan rakyat merasakan manfaatnya.
Perbaikan menyeluruh ini membutuhkan “teknisi” bangsa yang merupakan empat pilar negara yaitu gabungan dari cendekiawan, rohaniawan, budayawan, serta militer dan kepolisian profesional.
Dengan kolaborasi empat pilar ini, setiap komponen negara dapat kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Handphone bernama Indonesia pun bisa hidup normal kembali yaitu bekerja untuk rakyat, bukan membebani mereka.
Banyak rakyat berharap presiden baru bisa menyelesaikan semua masalah bangsa. Padahal, pergantian presiden saja tidak cukup. Dalam analogi handphone, presiden hanyalah prosesor. Ia tidak akan bisa bekerja normal jika layar, baterai, RAM, dan sistem operasi tetap rusak.
Begitu pula Indonesia. Sistemnya yang bermasalah jauh lebih besar dari sekadar siapa yang memimpin. MPR kehilangan arah, DPR tersumbat korupsi, pajak bocor, utang menumpuk, hukum lemah, media tidak netral, dan aparat kadang menekan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, mengganti presiden hanyalah mengganti komponen di sistem yang tetap rusak.
Perubahan sejati hanya akan terjadi jika seluruh sistem negara dibenahi. Rakyat harus sadar bahwa kedaulatan tidak bisa diserahkan pada satu orang, tetapi dijaga dan diawasi bersama. Barulah Indonesia bisa bekerja normal dan benar-benar melayani rakyatnya.
Apakah Cukup Menunggu Pemilu?
Banyak orang berharap perubahan besar datang lewat pemilu. Padahal, menunggu pemilu lima tahunan sama saja dengan berharap handphone rusak kembali normal hanya dengan mengganti casing. Masalahnya bukan di luar, tapi di dalam sistemnya.
Begitu pula Indonesia. Ganti presiden atau wakil rakyat tidak akan memperbaiki negara jika prosesor, RAM, dan sistem operasinya tetap bermasalah. Korupsi, birokrasi lamban, dan utang menumpuk tidak bisa diselesaikan hanya lewat pergantian orang.
Perubahan sejati terjadi ketika seluruh sistem diperbaiki dan rakyat aktif menjaga agar negara bekerja sebagaimana mestinya. Pemilu penting, tapi tanpa perbaikan menyeluruh, handphone bernama Indonesia akan tetap lemot, boros daya, dan tak memberi manfaat bagi pemiliknya yaitu rakyat sendiri.