Dalam beberapa waktu terakhir, publik semakin merasakan bahwa ruang untuk menyampaikan pandangan kritis kian menyempit. Narasi resmi negara menguat, sementara suara alternatif baik dari masyarakat sipil, jurnalis, akademisi, maupun warga biasa sering kali diposisikan sebagai ancaman terhadap stabilitas. Regulasi demi regulasi muncul dengan dalih penertiban, namun berdampak pada pembatasan kebenaran yang beragam.
Sejumlah kebijakan dan wacana regulasi di Indonesia belakangan ini menuai kritik karena berpotensi mengendalikan narasi publik. Dari pengaturan konten digital, pembatasan siaran tertentu, hingga respons aparat terhadap ekspresi kritik di ruang publik, semuanya menunjukkan kecenderungan serupa: negara ingin menjadi penentu tunggal atas apa yang boleh dan tidak boleh disuarakan.
Alih-alih membuka ruang dialog, pendekatan regulatif ini justru memicu kekhawatiran akan sensor terselubung.
Pemerintah kerap membungkus kebijakan pengendalian narasi dengan alasan stabilitas nasional. Namun di lapangan, warga memiliki pengalaman hidup yang tidak selalu sejalan dengan cerita resmi tentang ekonomi yang sulit, lingkungan yang rusak, atau layanan publik yang bermasalah.
Ketika realitas warga tidak mendapat ruang, narasi stabilitas berubah menjadi alat penyangkalan, bukan refleksi kebenaran.
Pengendalian narasi berdampak langsung pada kualitas demokrasi. Warga menjadi ragu untuk berbicara, media berhitung sebelum menyelidiki, dan ruang publik kehilangan fungsi korektifnya. Dalam jangka panjang, partisipasi publik melemah dan kepercayaan terhadap negara terkikis.
Demokrasi tanpa kebebasan berbicara hanya akan menjadi prosedur tanpa substansi.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa kecenderungan mengatur kebenaran adalah tanda keliru memahami kedaulatan.
“Rakyat adalah pemilik kedaulatan negara, sehingga rakyat adalah raja. Pejabat atau pemerintah bukanlah pemegang kekuasaan, melainkan pelayan rakyat TKI, Tenaga Kerja Indonesia. Jika pelayan justru mengatur kebenaran dan membatasi suara raja, maka demokrasi sedang dibalik arahnya,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa negara yang kuat tidak lahir dari pengendalian narasi, melainkan dari keberanian menghadapi kritik.
Jika pengendalian narasi terus diperluas, Indonesia berisiko terjebak dalam kebenaran tunggal versi negara. Ketika rakyat merasa pengalaman hidupnya dinafikan, ketidakpercayaan akan tumbuh. Dalam jangka panjang, stabilitas yang dibangun di atas pembungkaman justru rapuh dan mudah runtuh.
Negara bisa terlihat tenang, tetapi kegelisahan publik terus menumpuk.
Untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan berakar pada kedaulatan rakyat, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
Negara demokratis tidak berhak menentukan satu versi kebenaran dan menyingkirkan yang lain. Dalam republik, raja adalah rakyat, dan suara rakyat adalah sumber legitimasi.
Jika kebenaran mulai diatur melalui regulasi, maka yang terancam bukan hanya kebebasan berbicara melainkan masa depan demokrasi itu sendiri.