Struktur ketatanegaraan Indonesia hari ini dibangun dari hasil Amandemen UUD 1945 tahun 1999–2002. Banyak orang menganggap amandemen itu sudah final, modern, dan cocok untuk demokrasi. Namun dua puluh tahun lebih setelah perubahan itu diberlakukan, berbagai krisis politik, hukum, dan keadilan justru menunjukkan satu kenyataan pahit:
Struktur ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak stabil, tidak seimbang, dan mengandung cacat desain yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat.
Jika kita bedah secara jernih, kita akan menemukan bahwa masalah Indonesia bukan sekadar korupsi atau moral pejabat tetapi “software negara” yang kacau.
Berikut analisis komprehensifnya.
Amandemen UUD 1945 menjadikan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di eksekutif, sekaligus simbol negara (head of state).
Akibatnya:
Presiden menjadi sentral kekuasaan, melebihi perdana menteri di sistem parlementer dan melebihi presiden di negara presidensial murni seperti AS atau Brasil.
Presiden Indonesia adalah super executive.
Dalam teori manajemen organisasi, hal ini bertentangan dengan prinsip pengendalian dan pengawasan internal (internal control).
Dalam demokrasi, hal ini bertentangan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power).
2. MPR Dipangkas, Padahal Dulu Pemegang Kedaulatan
Amandemen merombak posisi MPR:
Dulu → Lembaga tertinggi negara, pemegang kedaulatan rakyat
Sekarang → Sekadar lembaga permusyawaratan simbolis
Kewenangannya dipreteli:
Padahal Bung Hatta pernah berkata:
“Kedaulatan rakyat tidak boleh digeser dari Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Kini MPR hanya menjadi penonton, sementara kekuasaan terpusat pada presiden dan DPR.
3. DPR Jadi Setengah Kuat, Setengah Lumpuh
DPR diberi fungsi legislasi dan anggaran, namun:
Secara struktur, DPR kuat. Secara praktik, DPR dikendalikan kekuatan di luar parlemen.
Inilah yang menciptakan fenomena yang sering disebut publik sebagai political crime — kejahatan melalui aturan formal.
Dewan Perwakilan Daerah hanya diberi wewenang “memberi pertimbangan” dan “mengajukan rancangan”, tetapi tidak memiliki hak legislasi.
Artinya, perwakilan 38 provinsi di Indonesia tidak punya kekuatan nyata dalam menentukan arah negara.
Padahal secara ide, Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan sistem federal representation agar daerah tidak tersandera pusat.
5. Yudikatif Tidak Independen Secara Sistemik
Secara teori, kekuasaan kehakiman merdeka.
Secara praktik:
Jadi apakah yudikatif benar-benar lepas dari eksekutif dan legislatif?
Tidak.
Hubungan atasan–bawahan memang tidak ada, tetapi ketergantungan politik tetap melekat.
Itulah mengapa banyak pakar hukum menyebut desain kita menciptakan judicial weakness, bukan judicial independence.
6. Kementerian dan Lembaga Negara Liar & Tidak Efisien
Saat ini ada:
Total struktur eksekutif saja mencapai 50–60 lembaga, jauh di atas standar manajemen modern.
Dalam teori Fayol & Mintzberg:
Semakin banyak unit di bawah satu pemimpin, semakin kacau koordinasi dan semakin rendah efektivitas.
Indonesia melanggar prinsip dasar organisasi:
7. Negara Diatur Seperti Partai Politik, Bukan Seperti Korporasi Publik
Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini bertumpu pada:
Tidak ada quality management system seperti ISO,
tidak ada prinsip GCG yang konsisten,
tidak ada pemisahan otoritas yang jelas.
Hasilnya?
Struktur Ketatanegaraan Indonesia Saat Ini Bukan Stabil—Melainkan Rawan Kerusakan Sistemik
Masalah utama bukan pada individu pemimpin, tetapi pada arsitektur negara.
Sistem ini:
Jika arsitektur negara salah,
siapa pun presidennya,
berapapun gajinya,
seberapa hebat pidatonya negara tetap akan salah arah.
Inilah mengapa gagasan Sekolah Negarawan melakukan Amandemen Kelima UUD 1945 menjadi relevan dan mendesak:
Selama desain ini belum diperbaiki, Indonesia akan terus bergerak tanpa arah, bergantung pada figur presiden, bukan pada sistem yang sehat.