Ketidakpastian Pajak Final UMKM 0,5%: Antara Pengumuman dan Ketiadaan Regulasi Resmi
Analisis Implikasi Hukum dan Potensi Mosi Tidak Percaya Wajib Pajak
beritax.id - Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) orang pribadi adalah salah satu insentif fiskal penting dari pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM. Namun, di tengah periode yang seharusnya menjadi masa berakhirnya insentif ini bagi sebagian Wajib Pajak. Munculnya pengumuman informal dari otoritas terkait tanpa diikuti oleh dasar hukum yang jelas. Sehingga telah menimbulkan gelombang ketidakpastian dan kekhawatiran serius di kalangan pelaku UMKM. Artikel ini akan menganalisis secara mendalam implikasi hukum dari situasi tersebut, potensi sanksi yang mungkin timbul. Serta dampak terhadap kepercayaan Wajib Pajak terhadap pemerintah dan otoritas perpajakan Indonesia.
Dasar Hukum PPh Final UMKM 0,5% dan Batasan Waktu
Pajak Penghasilan Final 0,5% bagi UMKM diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan:
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).
- PP 55/2022 ini menggantikan PP 23/2018 sebagai landasan hukum terbaru.
- Pasal 6 ayat (1) PP 55/2022 menetapkan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai PPh final sebesar 0,5% dari omzet.
- Pasal 6 ayat (2) PP 55/2022 secara tegas mengatur jangka waktu pengenaan PPh final ini. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jangka waktunya adalah 7 Tahun Pajak.
Penting untuk dicatat,
Pasal 45 ayat (2) PP 55/2022 memastikan bahwa Wajib Pajak yang telah memanfaatkan PPh final. Berdasarkan PP 23/2018 tetap dapat melanjutkan penggunaan tarif 0,5% hingga sisa jangka waktu yang ditentukan dalam PP 23/2018. Artinya, batas waktu 7 tahun dihitung sejak pertama kali mereka memanfaatkan tarif ini.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika Wajib Pajak orang pribadi UMKM telah memanfaatkan PPh final 0,5% selama 7 tahun dan masa berlakunya berakhir di tahun 2024. Maka secara hukum, seharusnya per Januari 2025, mereka beralih ke skema pajak normal (PPh Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan). Dengan kewajiban pembukuan atau pencatatan sesuai ketentuan yang berlaku.
Antara Pengumuman Pejabat dan Ketiadaan Regulasi Resmi
Situasi menjadi keruh ketika pada akhir Desember 2024, beredar luas informasi yang mengindikasikan adanya perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5% selama 1 tahun lagi hingga akhir Desember 2025. Informasi ini umumnya disampaikan melalui media massa atau pernyataan tidak resmi dari pejabat tinggi pemerintah. Termasuk Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak, dalam konteks dukungan terhadap UMKM.
Namun, hingga saat ini (Juli 2025), pengumuman tersebut belum diikuti dengan penerbitan peraturan perundang-undangan yang resmi. Artinya, tidak ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Hal ini yang secara eksplisit mengubah atau memperpanjang jangka waktu yang sudah diatur dalam PP 55/2022. Inilah inti dari kekosongan dan ketidakpastian hukum yang kini dihadapi oleh Wajib Pajak UMKM.
Analisis Hukum: Potensi Sanksi bagi Wajib Pajak
Ketiadaan regulasi resmi pasca pengumuman informal ini menciptakan risiko serius bagi Wajib Pajak. Mari kita bedah implikasi hukumnya:
- Asas Legalitas ( Nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali )
Asas fundamental dalam hukum, termasuk hukum pajak, menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atau sanksi tanpa dasar hukum yang sah dan jelas. Artinya, sebuah "pengumuman" lisan atau tidak resmi, bahkan dari menteri atau direktur jenderal sekalipun, tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggantikan atau mengubah ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki ini menempatkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (PMK) sebagai dasar hukum yang lebih tinggi dari sekadar pengumuman non-resmi. Untuk mengubah atau memperpanjang ketentuan dalam PP 55/2022, diperlukan regulasi pada level yang sama atau lebih tinggi. Tanpa itu, ketentuan dalam PP 55/2022 tetaplah yang berlaku.
- Implikasi Nyata dan Risiko Sanksi
Kewajiban Pajak Seharusnya: Jika hingga Juli 2025 tidak ada peraturan perpanjangan resmi yang diterbitkan, maka secara hukum, Wajib Pajak orang pribadi UMKM yang masa 7 tahun PPh Finalnya berakhir di 2024 wajib beralih ke skema PPh normal sejak Januari 2025.
- Potensi Kurang Bayar: Jika Wajib Pajak tetap membayar PPh Final 0,5% berdasarkan pengumuman tanpa dasar hukum, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhak untuk melakukan koreksi. Pajak yang seharusnya dibayar adalah PPh normal (misalnya dengan tarif Pasal 17 UU PPh) yang umumnya lebih tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan Wajib Pajak mengalami kurang bayar pajak.
- Sanksi Administrasi: Kekurangan pembayaran pajak akibat kondisi ini dapat berujung pada sanksi administrasi. Hal ini berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak dan/atau denda.
Sanksi ini diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
- Pasal 8 ayat (2a) UU KUP (sebelum UU HPP) mengatur sanksi bunga jika SPT dibetulkan sendiri.
- Pasal 13 UU KUP (setelah UU HPP) mengatur sanksi bunga atas kurang bayar pajak yang ditemukan melalui pemeriksaan.
- Pasal 19 UU KUP mengenai sanksi bunga atas kurang bayar pajak setelah Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Mosi Tidak Percaya Wajib Pajak kepada Pemerintah dan Otoritas Pajak
Kondisi seperti ini, di mana terdapat kesenjangan antara "pengumuman" dan "peraturan resmi," sangat berpotensi menimbulkan mosi tidak percaya atau setidaknya rasa frustrasi dan ketidakpastian yang mendalam dari Wajib Pajak terhadap pemerintah dan otoritas perpajakan Indonesia. Alasannya meliputi:
- Ketidakpastian Hukum: Wajib Pajak mendambakan kepastian dalam setiap aspek kewajiban pajaknya. Ketiadaan regulasi tertulis yang mendasari pengumuman menciptakan area abu-abu yang membingungkan dan merugikan Wajib Pajak jika mereka salah melangkah.
- Inkonsistensi Kebijakan: Praktik mengumumkan kebijakan penting tanpa dukungan regulasi resmi. Kemudian mencerminkan inkonsistensi yang dapat mengikis kredibilitas pemerintah dalam tata kelola yang baik.
- Potensi Kerugian Finansial: Wajib Pajak yang patuh namun terjebak dalam situasi ini. Sehingga bisa berakhir dengan beban finansial tambahan berupa sanksi, yang terasa tidak adil karena disebabkan oleh ketidakjelasan dari pihak otoritas.
- Kurangnya Profesionalisme: Proses pembentukan peraturan perundang-undangan memiliki standar dan tahapan yang harus dipenuhi. Mengabaikan prosedur ini, bahkan untuk tujuan baik, bisa dianggap sebagai kurangnya profesionalisme birokrasi.
- Erosi Kepercayaan Publik: Kepercayaan adalah fondasi hubungan antara pemerintah dan rakyat. Ketika pemerintah gagal memberikan kejelasan dan konsistensi, terutama dalam hal kebijakan yang memengaruhi penghidupan banyak UMKM, kepercayaan publik dapat terkikis. Wajib Pajak merasa "dipermainkan" atau tidak dianggap serius.
- "Himbauan" Tanpa Kekuatan Hukum: Wajib Pajak yang cermat akan memahami bahwa pengumuman tanpa payung hukum tidak memberikan jaminan keamanan. Hal ini dapat membuat mereka skeptis terhadap setiap pernyataan non-resmi dari otoritas.
Secara keseluruhan, situasi ini dapat mengurangi tingkat kepatuhan sukarela ( voluntary compliance ) Wajib Pajak dalam jangka panjang. Mengapa harus patuh pada sistem yang tidak memberikan kepastian dan justru berpotensi merugikan?
Sikap yang Seharusnya Diambil oleh Wajib Pajak
Mengingat risiko yang ada, Wajib Pajak orang pribadi UMKM yang berada dalam situasi ini disarankan untuk mengambil langkah proaktif dan hati-hati:
- Mengacu pada Peraturan yang Berlaku: Selama tidak ada peraturan perpanjangan yang resmi diterbitkan, Wajib Pajak harus mengacu pada PP 55/2022. Jika masa 7 tahun berakhir di 2024, maka per Januari 2025, Wajib Pajak sebaiknya beralih ke skema PPh normal.
- Menghitung PPh Normal: Wajib Pajak perlu mulai menghitung Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum PPh Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto jika memenuhi syarat.
- Memantau Perkembangan Regulasi: Tetap aktif memantau situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (pajak.go.id) dan Kementerian Keuangan (kemenkeu.go.id) untuk pengumuman regulasi resmi terkait perpanjangan atau perubahan. Jangan hanya bergantung pada berita di media atau pernyataan lisan.
- Konsultasi dengan Profesional: Jika ragu, segera konsultasikan dengan konsultan pajak profesional atau menghubungi Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk mendapatkan penjelasan resmi dan tertulis. Penting untuk meminta dasar hukum atas setiap informasi yang diberikan.
Kesimpulan
Kesenjangan antara pengumuman informal dari otoritas dan ketiadaan peraturan resmi mengenai perpanjangan PPh Final 0,5% bagi UMKM orang pribadi yang telah melewati batas 7 tahun adalah masalah serius. Berdasarkan asas legalitas dan hierarki peraturan perundang-undangan, pengumuman semata tidak memiliki kekuatan hukum.
Jika hingga saat ini tidak ada peraturan resmi yang diterbitkan, maka Wajib Pajak secara hukum seharusnya sudah beralih ke skema PPh normal sejak awal tahun 2025. Apabila Wajib Pajak tetap menerapkan tarif 0,5% dan hal ini dikoreksi oleh DJP, maka potensi sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda menjadi sangat nyata.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian potensial bagi Wajib Pajak, tetapi juga berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap konsistensi dan profesionalisme pemerintah dalam merumuskan kebijakan fiskal. Oleh karena itu, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, perlu segera memberikan kepastian hukum dengan menerbitkan peraturan resmi atau klarifikasi yang jelas untuk menjaga iklim usaha yang kondusif dan meningkatkan kepatuhan pajak sukarela.
Penulis adalah Sekjen Perkumpulan Profesi Pengacara Praktisi Pajak Indonesia (P5I) dan Pembina Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) yaitu Dharmawan, S.E., S.H., M.H., BKP., CCL.
Email: [email protected]
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.