beritax.id - Dalam struktur kehidupan bernegara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah tulang dan kerangka bangsa. Mereka adalah penjaga fisik, pertahanan, dan stabilitas, menopang tubuh negara agar tetap tegak di tengah ancaman luar dan dalam. Namun dalam praktik sistem negara Indonesia hari ini, tulang bangsa justru mulai retak dan membengkok, bukan karena kelemahan, tetapi karena tunduk kepada kekuasaan oligarki.
TNI dan Polri seharusnya menjadi institusi yang netral secara politik, tegak secara prinsip, dan loyal kepada rakyat serta konstitusi. Namun seiring melemahnya sistem kenegaraan, kekuasaan para oligark (penguasa modal dan elite politik) justru menembus jantung TNI dan Polri, menjadikan mereka alat penjaga status quo kekuasaan, bukan penjaga rakyat.
Secara filosofis, TNI adalah tulang (balung), penyangga tubuh. Tapi bagaimana jika tulang keluar dari tubuh? Itu bukan hanya tidak sehat, tapi menakutkan dan menyakitkan. Di masa lalu, ini pernah terjadi saat militer terlalu jauh masuk ke urusan sipil dan politik. Namun hari ini, bentuk bahayanya berbeda: TNI justru dipelintir menjadi alat pelindung kekuasaan, bukan pelindung rakyat.
Bukan hanya dalam konteks pengamanan rezim, tapi juga dalam keterlibatan bisnis, kontrak proyek pemerintah, hingga posisi dalam jabatan sipil strategis. TNI yang seharusnya berdiri tegak sebagai penjaga negara, kini seperti ditekuk oleh kekuasaan yang membiarkan oligarki merajalela.
Jika tulang tidak lagi menyatu dengan tubuh rakyat, maka negara menjadi cacat. Rakyat kehilangan pelindung sejatinya. Yang ada hanyalah kerangka yang menjulang, tapi tak lagi menopang keadilan.
Polri sebagai pengayom masyarakat juga mengalami degradasi serupa. Banyak kasus korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan hukum yang tidak ditindak tegas karena keberpihakan pada elite atau kekuatan uang. Ketika polisi lebih tunduk pada arahan pemegang kekuasaan dan bisnis ketimbang hati nurani, maka masyarakat kehilangan rasa aman, dan hukum kehilangan roh keadilannya.
Alih-alih menjadi alat rakyat untuk menertibkan kekuasaan, Polri justru menjadi alat pemegang kekuasaan untuk menertibkan rakyat. Ironis.
Kondisi ini menimbulkan kerusakan struktural dan fungsional dalam tubuh negara. Jika dalam falsafah Jawa, kehidupan harus “selaras lan sumeleh” (harmonis dan lapang hati), maka kondisi sekarang menunjukkan disharmoni ekstrem:
Negara kehilangan keseimbangan. Tubuh tetap hidup, tapi tidak bisa berjalan tegak. Kepercayaan publik terhadap aparat menurun. Dan paling parah: ketika kekuatan senjata dan hukum dikuasai oleh elite, rakyat hanya punya satu pilihan, diam atau melawan.
Amandemen Kelima UUD 1945 harus memperjelas dan mempertegas bahwa:
“Jika tulang bangsa dibelokkan oleh kekuasaan, maka tubuh bangsa akan pincang. Kita harus kembalikan mereka menjadi penopang yang tegak, bukan alat yang dipakai sesuka penguasa.”