Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute.
beritax.id - Pernyataan budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun dalam salah satu forum Maiyah-nya kembali menggemparkan ruang publik mengenai pemerintah. Dengan gaya khasnya, ia menyindir tajam mentalitas pejabat negara yang kerap merasa menjadi pihak yang “membantu” rakyat melalui program-program seperti bantuan sosial (bansos), Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, hingga program makan bergizi gratis.
“Presiden kok bantu beras miskin, kamu itu yang miskin. Lah wong gajimu saja dari rakyat,” ujar Cak Nun, menyentil akar relasi antara pemerintah dan rakyat yang dianggap telah salah arah. Kalimat ini bukan sekadar kritik retoris, melainkan cermin tajam terhadap struktur kekuasaan yang terbalik. Seolah-olah pemerintah adalah pihak pemilik sumber daya yang secara sukarela “memberikan” kepada rakyat. Padahal sesungguhnya seluruh pembiayaan negara berasal dari rakyat itu sendiri melalui pajak, hasil bumi, hingga utang yang kelak akan ditanggung bersama.
Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat
Konsep kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” telah direduksi menjadi formalitas. Dalam praktiknya, rakyat justru dijadikan objek belas kasihan oleh pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan.
Bansos bukan hadiah. Program makan gratis bukan kemurahan hati penguasa. Itu adalah hasil dari keringat rakyat sendiri yang dikumpulkan negara untuk kemudian dikelola. Namun, dalam atmosfer politik elektoral, berbagai program ini dipolitisasi dan diklaim sebagai prestasi personal tokoh atau partai. Seolah-olah berasal dari kantong pribadi mereka. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap kecerdasan publik.
Cak Nun dengan lantang mengingatkan: pemerintah itu digaji dari pajak dan sumber daya yang dihasilkan oleh rakyat. Maka, secara moral, justru pemerintahlah yang “miskin” bergantung pada rakyat bukan sebaliknya. Saat pemerintah merasa lebih tinggi, lebih layak memerintah, dan bersikap seolah pemilik negara, di situlah keangkuhan kekuasaan telah menghapus watak republik.
Solusi dari semua kekacauan ini bukan sekadar perbaikan prosedural. Dibutuhkan revolusi luar biasa dalam ketatanegaraan sebagaimana kerap diserukan Cak Nun yakni pemurnian kembali relasi antara rakyat dan negara. Konstitusi harus dikembalikan pada maknanya yang sejati mengenai negara adalah alat rakyat, bukan alat penguasa. Pejabat adalah pelayan, bukan tuan.
Jika tidak, rakyat hanya akan terus ditipu oleh simbol dan narasi. Dan pemerintah yang sejatinya “miskin” akan terus berlagak sebagai dermawan di atas penderitaan rakyat yang seharusnya mereka ayomi.