beritax.id - Dalam sistem negara ideal, aset negara adalah milik kolektif seluruh rakyat, yang dikelola oleh institusi negara berdasarkan mandat konstitusi. Namun fakta mencengangkan muncul ke permukaan: seluruh aset negara Indonesia ternyata dicatat dan dikuasai atas nama Kementerian Keuangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara ini milik rakyat, atau milik bendahara negara?
Ketimpangan ini menguak kenyataan pahit: menteri keuangan adalah pihak yang paling mengetahui, mencatat, dan mengendalikan ke mana perginya aset negara dan uang negara. Jika presiden diibaratkan sebagai “direktur” perusahaan bernama Indonesia, maka menteri keuangan justru berfungsi layaknya “pemilik kas dan aset perusahaan”. Sebuah posisi yang dalam struktur negara demokratis seharusnya berada di bawah kontrol penuh rakyat. Hal ini melalui badan representatif tertinggi, bukan pada eksekutif teknokratis.
Laporan resmi dari Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan selama ini menyatakan bahwa tanah, gedung, kendaraan, dan seluruh aset negara lainnya tercatat atas nama "Kementerian Keuangan Republik Indonesia". Ini tidak hanya berlaku untuk aset pusat, tetapi juga aset lembaga lain, kementerian lain, hingga kapal perang.
Dengan dalih sebagai Bendahara Umum Negara, menteri keuangan menjadi pemegang kuasa tunggal dalam hal penatausahaan aset, termasuk penjualan, pemindahtanganan, dan bahkan penghapusan aset negara. Pertanyaannya: atas mandat siapa?
Jika rakyat adalah pemegang kedaulatan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, maka seharusnya yang berhak mengatur dan menguasai aset negara adalah badan negara yang mewakili rakyat secara langsung, bukan lembaga teknokrat seperti kementerian. Namun saat ini, praktik yang berjalan justru menunjukkan sebaliknya: menteri keuangan lebih mengetahui, lebih berkuasa, dan lebih bebas dalam mengambil keputusan tentang aset negara dibanding presiden itu sendiri.
Realita ini menimbulkan distorsi yang sangat besar dalam prinsip negara demokrasi konstitusional. Dalam sistem yang baik:
Namun dalam praktik sekarang, Menteri Keuangan tidak hanya mengatur fiskal dan APBN, tapi juga memiliki kontrol atas data penerimaan negara, pembendaharaan, pengeluaran, bahkan otoritas akuntansi dan kekayaan negara. Ini menjadikan posisi Menteri Keuangan atau sebut saja Bendahara Negara sangat strategis sekaligus superpower, melebihi batas fungsi eksekutif biasa.
Apalagi jika menteri keuangan bersekongkol dengan elit partai politik, maka yang terjadi adalah kartel fiskal dan kekuasaan keuangan nasional. Sebuah struktur yang secara diam-diam telah menggantikan prinsip rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Tidak berhenti di soal aset, otoritas pajak di bawah Kementerian Keuangan juga telah bertindak dengan kecenderungan represif. Lewat UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), lebih dari 48 kewenangan perpajakan diberikan kepada menteri keuangan, yang bahkan mengatur hingga proses penyitaan dan pemblokiran rekening pribadi wajib pajak tanpa mekanisme peradilan publik. Ditambah lagi, Pengadilan Pajak pun berada di bawah Kementerian Keuangan, menjadikan proses banding dan keadilan pajak berada dalam satu genggaman.
Hal ini menunjukkan bahwa kementerian keuangan bukan hanya menjadi bendahara, melainkan juga penyusun aturan, pelaksana aturan, sekaligus hakim atas pelaksanaan aturan tersebut, sebuah trias politica dalam satu tangan.
Kondisi ini membuktikan bahwa ada kesalahan sistemik dalam arsitektur negara. Negara telah gagal memisahkan secara jelas antara pemilik kedaulatan (rakyat), pelaksana mandat (pemerintah), dan pengelola teknis (kementerian). Maka solusi yang harus diambil bukan sekadar reformasi administratif, melainkan perubahan fundamental terhadap struktur negara melalui Amandemen Kelima UUD 1945.
Rancangan amandemen ini antara lain akan:
“Jika rakyat tidak tahu di mana dan atas nama siapa aset negaranya dicatat, maka rakyat hanya pemilik formal, bukan penguasa substantif. Ini bukan demokrasi, ini penipuan berbungkus hukum.”