Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Indonesia dinyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945 yang ditandai dengan peristiwa Proklamasi, tetapi sebenarnya hingga sekarang Indonesia masih terjajah secara ekonomi, hukum, dan sosial. Pandangan itu ada benarnya, tetapi kenyataan yang kita hadapi jauh lebih dalam dan menyakitkan. Bangsa ini bukan hanya terjajah secara ekonomi, melainkan terjajah di semua bidang. Kita mengalami apa yang disebut dengan kemerdekaan semu.
Sejak lama, sistem pemerintahan di negeri ini salah arah. Presiden merangkap sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, membuat kontrol publik lemah dan akuntabilitas tergerus. Demokrasi kita tak lebih dari prosedural: rakyat memilih, tetapi kendali tetap di tangan segelintir pejabat. Lihatlah upaya perpanjangan jabatan DPRD yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu bukti bagaimana hukum bisa dipelintir demi kepentingan kekuasaan. Padahal, menurut Partai X, politik adalah alat dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan serta menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan, untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, politik kita kini dikooptasi oleh segelintir orang dan kepentingan asing.
Di bidang ekonomi, janji penciptaan lapangan kerja hanya tinggal slogan. Pemutusan hubungan kerja terus berlangsung, sementara biaya hidup semakin menekan rakyat. Ekonomi kita rapuh, bergantung pada investasi asing, dan jauh dari kemandirian. Tambang emas, minyak, gas, dan banyak sumber daya alam lainnya di negeri ini telah lama dikuasai dan dieksploitasi oleh PT Freeport, Exxon Mobil, Newmont, dan banyak perusahaan asing lainnya. Ironisnya, semua itu dilegalkan oleh undang-undang.
Mengapa bisa terjadi? Karena banyak keputusan di negeri ini, terutama dalam bentuk undang-undang terus berada dalam kontrol pihak asing. Di antaranya melalui IMF dan Bank Dunia, dua lembaga internasional yang menjadi alat penjajahan global. Alhasil, kekayaan negeri ini terus mengalir ke luar dan ke kantong para pejabat korup, sementara rakyat kita sendiri masih hidup dalam kemiskinan.
Di bidang hukum, ketidakadilan terlihat nyata. Laporan kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo yang diterbitkan Partai X hanya mencatat pencapaian 0,13 persen dari target lima tahun. Bahkan, pemberantasan korupsi mendapat skor negatif –7. Jika rakyat kecil telat membayar pajak, mereka segera ditindak. Tetapi ketika perusahaan besar mengemplang pajak triliunan rupiah, kasusnya bisa hilang begitu saja. Bahkan, jaksa yang berani membongkar penyalahgunaan wewenang justru dikriminalisasi. Ini adalah pengkhianatan terhadap keadilan.
Lebih jauh lagi, penjajahan kini terjadi lewat kelalaian bangsa kita sendiri dalam membentengi ideologi. Pancasila, yang seharusnya diajarkan secara mendetail dan menjadi pedoman hidup berbangsa, kini hanya diajarkan secara dangkal dan formalitas belaka. Generasi muda kehilangan pemahaman mendalam tentang falsafah dasar negara, sehingga mudah terombang-ambing oleh arus globalisasi dan ideologi asing. Partai politik pun tidak menjalankan fungsi pendidikan politik sebagaimana diamanatkan undang-undang (UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik). Alih-alih mendidik rakyat agar melek politik, sebagian besar parpol hanya aktif saat pemilu untuk mengejar kursi kekuasaan. Akibatnya, rakyat tidak memiliki pegangan ideologis dan kesadaran politik yang kuat. Kita mungkin merdeka secara fisik, tetapi dalam pemikiran, politik, dan budaya, sejatinya kita masih terjajah.
Bangsa Indonesia memang telah merdeka secara formal sejak 1945. Kita bebas mengibarkan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, dan menggelar perayaan kemerdekaan setiap 17 Agustus. Namun, apakah itu berarti kita benar-benar merdeka? Kenyataannya, kemerdekaan kita hanya semu. Kekayaan alam kita dirampas, hukum tidak adil, politik dikendalikan pejabat korup dan asing, rakyat hidup dalam tekanan ekonomi, dan pikiran kita dijajah oleh ide-ide luar yang justru merugikan bangsa.
Selama rakyat tidak berdaulat penuh atas tanah airnya, selama kekayaan negeri ini dikuasai pihak asing dan pejabat, selama hukum hanya tajam ke bawah, maka kemerdekaan sejati itu belum kita raih. Perjuangan kita belum selesai. Kemerdekaan hakiki bukan sekadar simbol, melainkan kondisi ketika rakyat betul-betul berdaulat, adil, sejahtera, dan bebas menentukan masa depannya sendiri.