beritax.id - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyebut pernyataan tersebut sebagai kesalahan fatal yang menyesatkan publik, khususnya umat Islam.
“Zakat adalah kewajiban syar‘i yang jelas aturannya dalam agama, sederhana, dan berpihak langsung kepada mustahik. Sedangkan pajak di Indonesia penuh dengan lebih dari 6.000 regulasi yang ruwet dan sering dijadikan alat pemerasan oleh oknum. Menyamakan keduanya jelas menyesatkan dan blunder besar,” tegas Rinto.
IWPI menilai Sri Mulyani telah melewati batas dengan membawa analogi agama untuk membenarkan pungutan pajak. Rinto menegaskan, Sri Mulyani wajib segera meminta maaf kepada umat Islam dan mencabut pernyataannya. “APBN itu hak rakyat, bukan milik pemerintah. Jangan rakyat terus dijebak dengan retorika moral, sementara sistem perpajakan tetap memberatkan,” ujarnya.
Muhammadiyah: Kesalahan Konseptual yang Fatal
Ilham seorang penulis artikel dari organisasi Masyarakat Islam Muhammadiyah, mengutip pernyataan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga angkat bicara. Menurut Muhammadiyah, memang ada titik temu antara zakat dan pajak, sama-sama wajib, sama-sama disetorkan ke lembaga resmi, dan sama-sama bertujuan mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun, menyamakan keduanya begitu saja merupakan kesalahan fatal.
“Meski tampak selaras di permukaan, zakat dan pajak memiliki perbedaan filosofis, hukum, dan teknis yang tidak bisa diabaikan. Zakat bersumber dari keyakinan dan syariat agama dengan mekanisme khusus seperti mustahik dan amil. Pajak, sebaliknya, bersumber dari otoritas negara dengan dasar hukum positif,” tegas Ilham mengutip pernyataan resmi Muhammadiyah.
Muhammadiyah mendorong pemerintah lebih hati-hati dalam menggunakan analogi publik yang berkaitan dengan ibadah umat. “Sebaiknya Kemenkeu perkuat literasi fiskal dengan pendekatan yang lebih sensitif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Indonesia,” tambahnya.
PKB: Analogi Sri Mulyani Bisa Menyesatkan
Sekjen PKB sekaligus Anggota Komisi XI DPR, Hasanuddin Wahid atau Cak Udin, juga menilai ucapan Sri Mulyani berpotensi menimbulkan kesalahpahaman konseptual.
“Zakat adalah kewajiban religius dengan dimensi spiritual, sedangkan pajak adalah kewajiban sipil berdasarkan undang-undang. Keduanya memang memiliki titik temu dalam fungsi distribusi, tetapi tidak bisa disamakan secara mutlak,” jelasnya.
Menurut Cak Udin, zakat bersumber dari iman dan niat suci, sementara pajak berasal dari otoritas negara. “Narasi yang menyamakan keduanya bisa menyesatkan arah kebijakan, apalagi jika digunakan untuk membenarkan beban pajak yang terus meningkat,” pungkasnya.
Cak Nun: Moralitas Pemerintah Dipertanyakan
Seniman dan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memberikan kritik tajam dengan sudut pandang moralitas. Ia mengingatkan, bahkan Tuhan tidak menagih kewajiban sebelum melaksanakan kewajiban-Nya kepada manusia.
“Tuhan sudah lebih dulu memberi tanah subur, udara, air, tumbuhan, logam, emas, batu bara, gunung, dan apa saja. Setelah kewajibannya dijalankan, barulah Tuhan tidak merasa canggung meminta manusia berzakat atau beribadah,” tutur Cak Nun.
Dengan analogi itu, Cak Nun menilai pemerintah seharusnya lebih dulu memenuhi kewajiban dasar kepada rakyat, seperti menyiapkan lapangan kerja, memberi kesejahteraan, dan menjamin kehidupan layak. “Kalau rakyat masih di-PHK, jadi buruh outsourcing, susah cari kerja, lalu tiba-tiba dipaksa bayar pajak, itu namanya tidak bermoral,” tandasnya.
Kesimpulan
Kontroversi ini memperlihatkan jurang besar antara legitimasi moral agama dengan kewajiban sipil negara. Sri Mulyani dinilai keliru karena menyamakan dua konsep yang berbeda secara fundamental. Kritik keras dari IWPI, Muhammadiyah, PKB, hingga Cak Nun menegaskan satu hal: pajak adalah urusan negara yang wajib dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, bukan dibenarkan dengan analogi agama yang justru menyesatkan publik.
IWPI menutup dengan seruan tegas: “Sri Mulyani wajib minta maaf kepada umat Islam dan segera menarik ucapannya. Negara tidak boleh bermain-main dengan kesucian zakat hanya untuk memoles wajah pajak.”