Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf dalam forum Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah bukan sekadar kekeliruan retoris, melainkan membuka borok besar tata kelola fiskal Indonesia. Dengan mengaitkan pajak pada istilah agama, bahkan menyeret empat sifat Nabi Muhammad SAW yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah, ke dalam pengelolaan APBN, Sri Mulyani seakan menutupi kelemahan struktural sistem perpajakan dengan balutan moralitas semu.
Padahal, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Penerimaan pajak semakin sulit dipenuhi, regulasi pajak semakin rumit dengan lebih dari 6.000 aturan yang sering kali tumpang tindih, dan utang negara terus membengkak hingga mendekati titik rawan. Dalam situasi demikian, memoles pajak dengan narasi zakat hanya memperdalam kebingungan publik sekaligus melecehkan kesakralan ajaran Islam.
Pajak Bukan Zakat
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyebut pernyataan Sri Mulyani sebagai blunder besar dan menyesatkan. Menurutnya, zakat adalah kewajiban syar‘i yang jelas, sederhana, transparan, dan berpihak langsung pada mustahik. Sementara pajak di Indonesia justru sering dijadikan alat pemerasan oleh oknum, penuh keruwetan regulasi, dan tidak jarang lebih berpihak pada kepentingan fiskal negara ketimbang kesejahteraan rakyat.
“Tabligh tanpa amanah hanyalah propaganda. Fathonah tanpa siddiq hanyalah kecerdikan untuk mengelabui rakyat,” kritik Rinto, menanggapi klaim Sri Mulyani.
Retorika Agama vs Realitas APBN
Pernyataan Sri Mulyani soal “setan di APBN” menambah ironi. Ia mengakui bahwa tanpa transparansi, pengelolaan APBN rawan diselewengkan. Namun, yang seharusnya dilakukan bukanlah menutupi kelemahan struktural dengan narasi agama, melainkan memperbaiki proses bisnis dan regulasi perpajakan yang ia ciptakan sendiri sehingga menimbulkan “setan” perpajakan. Transparansi dan kepastian hukum adalah fondasi. Mengaitkan APBN dengan zakat justru kabur secara konseptual, seakan rakyat harus menerima beban pajak sebagai bagian dari ibadah.
Prediksi Cak Nun: Menkeu Akan Mundur
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun turut memberi peringatan keras. Ia menilai negara sedang berada di ujung tanduk krisis utang. “Nanti tahun depan bulan ketiga atau keempat mungkin menteri yang mengurusi keuangan akan mengundurkan diri dari jabatan karena sudah tidak bisa utang lagi. Sudah tak bisa bayar cicilan,” ungkapnya.
Menurut pendiri Kiai Kanjeng itu, pemerintah Indonesia akan kesulitan mencari pinjaman baru. Alasannya jelas: jumlah utang sudah terlalu jumbo, sementara negara-negara pemberi pinjaman pun kini menghadapi kebangkrutan. “Mau utang lagi sudah tak bisa. Pertama, negara itu sudah banyak utang sehingga tak dapat utang lagi. Kedua, yang memberi utang sudah tak mempunyai uang lagi. Sekarang yang memberi utang ke Indonesia itu sebenarnya sudah bangkrut juga,” tegasnya.
Lebih jauh, Cak Nun memperingatkan rakyat agar bersiap menghadapi krisis yang serius, terutama di sektor pangan. “Jadi nanti akan ada krisis yang serius. Mulai dari sekarang Anda harus berpikir mengenai swasembada pangan. Semua harus berpikir mengenai krisis pangan,” pesannya.
Hilangnya Fungsi Seorang Menkeu
Kritik Rinto Setiyawan dan prediksi Cak Nun menegaskan satu hal: fungsi seorang Menteri Keuangan telah hilang arah. Alih-alih mengelola fiskal secara strategis, Sri Mulyani lebih sering tampil sebagai juru bicara pajak dan pencitraan utang. Retorika agama dipakai untuk menutupi fakta bahwa APBN tidak lagi berdiri di atas pondasi produktivitas, melainkan bergantung pada utang luar negeri dan pungutan yang kian membebani rakyat.
Mundur Adalah Jalan Terhormat
Dalam kondisi di mana utang negara membengkak, penerimaan pajak tersendat, regulasi kian ruwet, dan narasi agama diseret untuk legitimasi, kepercayaan publik pada Menkeu sudah runtuh. Prediksi Cak Nun bahwa Menkeu akan mundur karena krisis utang bukan lagi ramalan kosong, melainkan peringatan keras akan kegagalan sistem.
Langkah paling terhormat bagi Sri Mulyani adalah mundur dari jabatannya. Bukan karena desakan publik semata, tetapi karena kegagalannya sendiri dalam menjalankan fungsi sebagai bendahara negara. Mundur adalah bentuk tanggung jawab moral, agar rakyat tahu bahwa kehormatan pejabat publik masih ada.