beritax.id – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) mengkritik keras rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang akan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru untuk memperketat persyaratan menjadi kuasa hukum pajak. Langkah ini dianggap bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemindahan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung (MA).
PMK Baru: ‘Filter Ganda’ untuk Kuasa Hukum Pajak
Menurut artikel DDTC News (19/6/2025), PMK baru akan mewajibkan kuasa hukum pajak memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak, serta pengalaman kerja dua tahun di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum dalam 5 tahun terakhir. Wajib memiliki gelar sarjana atau Diploma IV dan tidak boleh menjabat ASN atau pejabat negara.
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menuding Kemenkeu bukanlah lembaga yang berwenang mengatur syarat kuasa hukum pajak. Menurut dia, “penyusunan syarat harus mengikuti putusan MK No. 26/PUU‑XXI/2023, yang menyatakan bahwa pengadilan pajak harus dipindahkan ke bawah MA paling lambat 31 Desember 2026.”
Ia mempertanyakan efektivitas PMK ini:
“Apakah pengetatan syarat akan menjamin lebih banyak kemenangan bagi wajib pajak? Justru ini memperdalam otoritarianisme fiskal,” katanya.
IWPI juga mengingatkan bahwa organisasi ini lahir dari pengalaman banyak wajib pajak yang pernah dizalimi oleh konsultan pajak tidak kompeten, sehingga menerapkan aturan serupa justru mengikat akses rakyat terhadap advokasi pajak.
IWPI mendukung profesionalisme, namun meyakini penetapan standar harus bersandar pada data obyektif. Ia merujuk pandangan pakar seperti Dr Alessandro Rey, yang menyebut aturan ini belum berbasis data:
“Mana data kuasa hukum pajak yang merugikan wajib pajak atau yang tidak? Kalau goalnya menaikkan kualitas advokasi, data awalnya wajib dipunya oleh Menteri Keuangan,” tuturnya.
Dr. Rey pun mempertanyakan fokus kompetensi: “Apakah kompetensi akuntansi atau hukum yang dibenahi? Saya khawatir PMK ini dijadikan monopoli satu lembaga untuk bisnis pelatihan.”
Menurut Rinto, PMK ini semakin menunjukkan praktik ‘filter ganda’, di mana akses advokat pajak dikendalikan oleh DJP dan Menkeu, sementara pengadilan pajak, meskipun secara struktural masih di Kemenkeu, telah diamanatkan berada di bawah MA Maksimal 31 Desember 2026.
“Kemenkeu seharusnya hanya pembuat regulasi dan pelaksana, bukan pengadil. Kalau masih kontrol kuasa hukum pajak, berarti kapabilitas peradilan pajak tidak berkembang.” tegasnya.
Rinto menegaskan, posisi kuasa hukum pajak sejatinya diatur dalam UU Pengadilan Pajak dan peraturan Mahkamah Agung, bukan peraturan Menteri Keuangan.
Putusan MK 26/PUU‑XXI/2023: Kunci Kedaulatan Peradilan Pajak
MK pada 25 Mei 2023 menyatakan bahwa pengadilan pajak termasuk kekuasaan kehakiman, dan harus pindah di bawah MA sebelum 31 Desember 2026. Regulator (Kemenkeu) seharusnya tidak lagi ikut mengatur lembaga peradilan, termasuk syarat kuasa hukumnya.
IWPI menyarankan tiga langkah strategis:
“Tanpa ini, sistem pengadilan pajak akan semakin dikontrol Menteri Keuangan,” ujar Rinto.
Tanggapan Kemenkeu – Dinanti
Upaya konfirmasi dari redaksi kepada Kemenkeu dan Ditjen Pajak terkait hal ini masih ditunggu. Konsultan dan Wajib Pajak berharap masukan IWPI menjadi bahan evaluasi dalam regulasi penegakan hak para wajib pajak.
Kebijakan memperketat syarat kuasa hukum pajak dinilai IWPI bukan pengayoman, melainkan upaya kontrol berlebihan oleh eksekutif atas akses keadilan. Sebaliknya, independensi dan prosedur peradilan yang fair dianggap jauh lebih berkontribusi terhadap perlindungan hak rakyat.