beritax.id - Gelombang demonstrasi melanda berbagai kota besar di Indonesia sejak 25 hingga 31 Agustus 2025. Dari Jakarta hingga Makassar, ribuan warga turun ke jalan menuntut transparansi dan keadilan pemerintah. Aksi yang dimulai dari penolakan kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu berubah menjadi perlawanan massal, sejumlah gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Makassar, Kediri, Pekalongan, Cirebon, dan Gedung Grahadi di Jawa Timur dibakar. Bahkan kantor kepolisian seperti Markas Komando (Mako) Brimob Kwitang, Mako Gegana Brimob, Polda Metro Jaya, dan beberapa Polres turut diserang.
Kemarahan publik memuncak ketika video anggota DPR berjoget usai pengumuman kenaikan tunjangan beredar luas. Di saat rakyat menjerit atas penderitaan ekonomi, wakil mereka malah berpesta, seolah tak lagi memiliki Nurani.
Dalam situasi genting seperti ini, Cak Nun pernah mengingatkan:
“Apabila situasi pemerintahan kacau, maka diperlukan level di atasnya pemerintah, yang mewakili nasionalisme sejati yaitu Dewan Negara.”
Menurutnya, keberadaan Dewan Negara mutlak diperlukan untuk menyejukkan negeri dan menyelematkan kedaulatan rakyat.
9 Tahapan Tugas Dewan Negara: Peta Solusi Ketatanegaraan
Berikut adalah gagasan Cak Nun yang disusun bersama Sekolah Negarawan Menuju Rakyat Kembali Berdaulat Sepenuhnya:
Menegakkan Negara Melalui Gagasan, Bukan Kekerasan
Situasi hari ini melahirkan pertanyaan besar: apakah pemerintah sedang meminta rakyat untuk memberontak, atau justru telah kehilangan kendali atas kekuasaan yang diembannya? Ketika masyarakat membakar simbol-simbol kekuasaan karena rasa keadilan yang dibakar terlebih dahulu oleh negara, maka jelaslah sistem telah gagal menjalankan fungsi utamanya: melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan.
Gagasan Dewan Negara sebagaimana dicita-citakan oleh Cak Nun adalah bentuk koreksi struktural yang mendasar terhadap tatanan negara. Dewan ini bukan sekadar alat kontrol tambahan atau kosmetik politik, melainkan level spiritual dan konstitusional yang berada di atas struktur eksekutif. Ia mengembalikan pusat kekuasaan kepada Tuhan dan rakyat, dalam semangat "Manunggaling Kawula Gusti". Sebuah konsep sakral yang menempatkan rakyat bukan sebagai objek kekuasaan, melainkan subjek utama dalam keberlangsungan negara.
Pemerintah tidak boleh terus-terusan menyalahkan pihak asing atas kekacauan sosial yang muncul. Mengkambinghitamkan intervensi asing atau tuduhan adu domba hanyalah cara untuk menutupi fakta paling mendasar: struktur ketatanegaraan kita sendiri yang bermasalah. Bukan rakyat yang salah karena melawan, tapi negara yang lalai karena tidak membenahi sistem.
Sudah waktunya pemerintah melakukan introspeksi besar-besaran, bukan membungkam suara rakyat dengan represi, melainkan membuka pintu pembaruan melalui gagasan luhur. Jika tak ada keberanian membentuk Dewan Negara, maka demonstrasi hari ini hanyalah pelampiasan terakhir dari rakyat yang kehilangan ruang dalam sistem, sementara krisis moral dan konstitusi terus membusuk di balik layar kekuasaan