Berita

Bukan Rakyat, PDIP yang Harus Bertanggung Jawab Atas Ijazah Jokowi?
Berita Terbaru

Bukan Rakyat, PDIP yang Harus Bertanggung Jawab Atas Ijazah Jokowi?

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute.

beritax.id - Isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan, menyulut diskursus publik yang tajam. Sejumlah tokoh seperti Roy Suryo, Dr. Tifauzia Tyassuma, dan pakar digital forensik Rismon Sianipar secara terbuka mempertanyakan keabsahan dokumen ijazah akademik Presiden ke-7 RI itu. Alih-alih dijawab secara terbuka oleh pemerintah atau partai pengusung, mereka justru dilaporkan atas tuduhan menyebarkan hoaks.

Dalam demokrasi yang sehat, upaya membongkar dugaan pelanggaran etik dan hukum oleh pejabat tinggi negara adalah bagian dari kontrol publik. Namun dalam kasus ini, justru rakyat yang mempertanyakan diposisikan seolah-olah sedang mengganggu stabilitas. Padahal, pertanyaan paling mendasar adalah mengapa rakyat yang harus pontang-panting mencari kebenaran, bukan partai politik pengusung yang bertanggung jawab atas figur yang mereka sodorkan?

Budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun menyampaikan kritik tajam atas praktik ini. Menurutnya, “Pemerintah adalah pelayan rakyat, dan partai politik adalah agen pelayan itu”. Maka, ketika muncul keraguan terhadap kelayakan seorang pejabat publik apalagi Presiden yang diusung partai politik, sudah seharusnya partai-partai tersebut yang bertanggung jawab secara moral. Bukan sebaliknya, menyeret rakyat yang mempertanyakan ke ranah hukum.

Dalam Pilpres 2014 dan 2019, Joko Widodo diusung oleh koalisi besar yang didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bahkan, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri secara terang-terangan menyebut bahwa Jokowi adalah "petugas partai". Sebuah pernyataan yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa loyalitas utama Presiden bukan pada negara, melainkan pada partai. Atau dengan kata lain, Indonesia adalah bagian dari PDIP, bukan PDIP bagian dari Indonesia.

Pernyataan ini bukan sekadar simbolik, tetapi menunjukkan paradigma yang bermasalah ketika partai menjadi lebih besar dari negara, dan kader partai yang menduduki jabatan publik tetap dianggap tunduk pada garis ideologi partai ketimbang konstitusi negara. Di sinilah kekeliruan utama demokrasi Indonesia pasca reformasi: partai menjadi pusat kekuasaan, bukan rakyat.

Partai-partai yang ikut mengusung Jokowi dalam dua periode pilpres tidak sedikit. Mulai dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Hanura, PSI, PKPI, Perindo, PBB, hingga sebagian Partai Berkarya. Semua partai ini turut bertanggung jawab, karena melalui merekalah Jokowi mendapat tiket untuk mencalonkan diri dan dipilih rakyat. Jika kemudian muncul polemik mengenai legalitas ijazahnya, maka partai-partai inilah yang seharusnya pertama kali memberi klarifikasi bukan malah berdiam diri dan membiarkan warga sipil yang harus membuktikan keabsahan seorang Presiden.

Cak Nun juga pernah menyatakan bahwa “semua partai adalah kerajaan, dan kerajaan terbesar adalah kerajaan Bung Karno”, merujuk pada PDIP. Pernyataan ini menegaskan bahwa struktur partai politik kita tidak mencerminkan semangat republik, melainkan pola feodal dan dinastik, di mana keputusan penting ditentukan oleh satu atau dua figur sentral, bukan oleh proses deliberatif atau aspirasi publik.

Kasus dugaan ijazah palsu ini menjadi cermin dari kebobrokan sistem tersebut. Bukan hanya karena kemungkinan pelanggaran etik dan hukum oleh pejabat negara, tetapi juga karena partai politik tidak pernah mau ikut bertanggung jawab atas produk politik yang mereka sodorkan ke rakyat. Mereka hanya muncul saat kampanye, menyodorkan “jualan”, lalu menghilang saat timbul masalah.

Kini saatnya rakyat menuntut akuntabilitas bukan hanya dari individu, tetapi dari struktur kekuasaan yang menopangnya. Jika Jokowi adalah “petugas partai”, maka PDIP dan partai koalisinya tidak bisa cuci tangan. Mereka harus berdiri di garis depan untuk menjelaskan kepada rakyat apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam negara yang mengaku demokratis, tanggung jawab politik tidak bisa dilimpahkan ke rakyat semata. Apalagi jika rakyat hanya diberi ilusi kedaulatan melalui pemilu, sementara semua proses pencalonan dikuasai oleh segelintir pejabat partai.

Kita harus kembali pada semangat republik sejati bahwa partai adalah alat rakyat, bukan rakyat yang dijadikan alat partai. Dan ketika ada keraguan besar atas figur publik yang diusung, partai pengusunglah yang pertama harus bertanggung jawab.