beritax.id - Di negeri ini, keadilan bukan lagi hak asasi. Ia menjelma jadi komoditas mewah, yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya kekuasaan, koneksi, atau kekayaan. Di tengah struktur ketatanegaraan yang rusak dan timpang, rakyat kecil hanya bisa menggigit jari, berharap keadilan turun dari langit.
Ironisnya, negara justru mempertegas absurditas ini lewat kebijakan fiskal. Pada akhir tahun 2024 lalu, publik dihebohkan oleh keputusan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dengan dalih penyederhanaan dan optimalisasi penerimaan negara. Katanya, ini hanya akan diberlakukan untuk barang-barang mewah.
Maka dalam konteks realitas sosial hari ini, mencari keadilan di Indonesia rasanya memang pantas dikenakan PPN 12%. Sebab, keadilan sudah tak bisa lagi dianggap sebagai kebutuhan pokok. Ia langka. Mahal. Elitis. Bahkan bila tersedia, hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.
Struktur ketatanegaraan kita hari ini tidak berpijak pada logika keadilan, melainkan pada relasi kuasa. Lembaga peradilan yang seharusnya independen terbelenggu oleh campur tangan penguasa, tekanan struktural, dan praktik oligarki hukum. Akibatnya, hakim kehilangan keberanian, hukum kehilangan arah, dan rakyat kehilangan harapan.
Keadilan tidak bisa lahir dari sistem yang cacat. Dan ketika struktur kenegaraan tidak lagi berpihak pada rakyat, maka hukum bukan lagi alat untuk melindungi yang lemah, melainkan senjata untuk mempertahankan status quo.
Masyarakat awam hari ini, jika ingin menggugat kebijakan pemerintah, atau melawan ketidakadilan dari pejabat publik, harus menghadapi birokrasi, tekanan, biaya perkara, bahkan risiko intimidasi. Itu belum termasuk biaya "tak resmi" yang entah datang dari mana. Maka benar saja, mencari keadilan lebih sulit daripada membeli mobil baru.
Jika pemerintah menganggap keadilan bukan kebutuhan pokok, maka tak heran bila ia secara tak langsung memasukkannya dalam daftar barang mewah yang dikenakan PPN. PPN 12% jadi simbol: bahwa keadilan kini harus dibeli dengan harga mahal.
Keadilan seharusnya gratis dan merata, karena ia adalah tulang punggung peradaban. Namun dalam sistem yang dikendalikan oleh kekuasaan dan rente, keadilan justru menjadi komoditas privat.
Ini bukan hanya soal naiknya pajak, tapi soal struktur negara yang gagal menciptakan ruang hidup yang adil bagi warganya. Ketika kebenaran bisa dibeli, dan ketidakadilan bisa dilindungi oleh pasal-pasal, maka jangan heran bila rakyat perlahan kehilangan kepercayaan.
Jika keadilan sudah berubah menjadi barang mewah yang layak dipajaki, maka itu pertanda bahwa negara sudah terlalu jauh dari cita-cita konstitusionalnya.
Struktur ketatanegaraan kita tidak sedang baik-baik saja. Ia rusak—dan kerusakannya memproduksi kemewahan-kemewahan palsu, termasuk kemewahan untuk sekadar mendapatkan keadilan.
Dan seperti banyak barang mewah lainnya, keadilan kini dijual mahal, berlabel eksklusif, dan… ya, dikenakan PPN 12%.