Pejabat kita terlalu pandai bicara. Janji ditebar, jargon dilontarkan, seolah semua masalah akan selesai. Tapi kenyataannya? Rakyat tetap susah, harga naik, lapangan kerja sempit, korupsi tidak berhenti. Kita semua sudah muak.
Masalah bangsa ini bukan cuma soal siapa yang duduk di kursi presiden. Masalahnya jauh lebih dalam. Bayangkan negara ini seperti tubuh manusia. Kalau sehat, semua organ bekerja sesuai fungsi. Kepala memberi arah, syaraf mengontrol gerakan, kaki melangkah sesuai panduan. Dengan mata terbuka, tubuh bisa berjalan lurus menuju tujuan.
Tapi hari ini kita seperti tubuh dengan mata tertutup. Masih bisa berjalan, tapi arah kacau. Sering tersandung, sering menabrak, bahkan bisa jatuh ke jurang. Kepala yaitu MPR kehilangan fungsi, syaraf pengawas yaitu DPR mati rasa, kaki yaitu Presiden berjalan sendiri tanpa arahan, dan rakyat sebagai pemilik tubuh seperti kehilangan kesadaran.
Sebelum amandemen (pra-2002), MPR adalah lembaga tertinggi negara. Ia berfungsi sebagai kepala dari “tubuh bangsa”: menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih dan bisa memberhentikan presiden, serta jadi pemegang kedaulatan rakyat.
Namun setelah empat kali amandemen UUD 1945 pada 1999–2002:
Sejak saat itu, fungsi MPR sebagai “kepala” yang memberi arah hilang. Ia hanya berfungsi melantik presiden dan melakukan amandemen UUD. Akibatnya, arah pembangunan lebih banyak ditentukan oleh presiden dan pemerintah, tanpa ada garis haluan yang mengikat semua pihak.
Itulah sebabnya ibarat tubuh manusia, MPR disebut kehilangan fungsi sebagai kepala sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002.
Banyak orang berpikir, ya sudah, ganti saja presiden, pasti beres. Pertanyaannya, benarkah begitu? Jawabannya jelas: tidak.
Mengganti presiden di tubuh yang matanya tetap tertutup sama saja seperti mengganti kaki. Kaki baru mungkin lebih kuat atau lebih cepat, tapi tetap akan tersandung kalau matanya tidak dibuka.
Inilah yang sering kita alami. Figur boleh berbeda, gaya boleh berubah, tapi pola tetap sama. Karena masalah sesungguhnya bukan di siapa presidennya, melainkan di sistem yang membuat kepala tidak berfungsi, syaraf mati rasa, dan mata tetap tertutup.
Sejak reformasi 1998, Indonesia sudah mengalami lima kali pergantian presiden. Namun, indeks korupsi tetap buruk. Transparency International mencatat, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 hanya 34 dari 100, turun dari 38 pada 2019. Artinya, meskipun ganti presiden, korupsi masih merajalela.
Di sisi lain, ketimpangan ekonomi juga tidak membaik signifikan. Data BPS menunjukkan, rasio gini Indonesia pada 2023 ada di angka 0,388. Angka ini hampir sama dengan 10 tahun lalu. Artinya, meski presiden berganti, jurang kaya-miskin tetap lebar.
Bukan hanya itu, fungsi pengawasan DPR pun lemah. Dalam dua dekade terakhir, puluhan anggota DPR terjerat kasus korupsi, mulai dari kasus e-KTP yang menyeret Ketua DPR kala itu, hingga kasus suap legislasi di berbagai periode. Artinya, syaraf pengawas dalam tubuh bangsa sering mati rasa, terlepas siapa presidennya.
Jadi jelas, mengganti presiden tanpa memperbaiki sistem sama saja dengan mengganti kaki dalam tubuh yang matanya masih tertutup. Arah tetap salah, langkah tetap tersandung.
Ada juga yang bilang, tenang saja, tunggu pemilu lima tahunan, nanti ada perubahan. Tapi itu ilusi.
Pemilu memang penting, tapi pemilu hanya alat. Kalau sistem tetap rusak, hasil pemilu hanya melahirkan wajah baru dengan pola lama. Tubuh bangsa tetap berjalan dalam gelap, tersandung lagi, jatuh lagi.
Demokrasi kita justru mengalami kemunduran. Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis BPS menunjukkan tren menurun dalam aspek kebebasan sipil dan kualitas lembaga demokrasi. Artinya, meskipun rakyat memilih tiap lima tahun, suara rakyat sering tidak benar-benar menentukan arah bangsa karena banyak kecurangan dari pejabat.
Menunggu lima tahun tanpa perbaikan sama saja membiarkan kerusakan semakin parah. Korupsi jalan terus, birokrasi makin kusut, hukum makin bisa diperjualbelikan. Jadi jelas, menunggu pemilu lima tahunan tidak cukup. Rakyat tidak boleh pasif.
Jadi apa solusinya? Bukan sekadar ganti orang, bukan sekadar menunggu pemilu, tapi buka penutup mata bangsa ini. Kita butuh sistem yang sehat. Kepala harus kembali berfungsi, syaraf pengawas bekerja benar, kaki melangkah sesuai arahan, dan mata terbuka menghadapi kenyataan.
Mata bangsa ini hanya bisa terbuka kalau kita dipimpin oleh negarawan sejati. Negarawan yang jernih pikirannya, berpegang pada nilai moral, dan berpihak pada rakyat. Negarawan yang lahir dari empat pilar bangsa: intelektual yang membawa pengetahuan, budayawan yang menjaga jati diri, rohaniawan yang jadi kompas moral, serta TNI dan Polri yang netral melindungi rakyat.
Kalau keempat pilar ini bersatu, penutup mata bisa dilepas. Kepala bisa mengarahkan dengan benar, syaraf mengontrol gerakan, kaki melangkah mantap, dan rakyat kembali jadi pemilik sejati tubuh bangsa ini.
Perubahan sejati hanya terjadi kalau kita berani buka mata bangsa ini. Sistem harus diperbaiki, kedaulatan dikembalikan ke tangan rakyat. Karena hanya dengan mata terbuka, Indonesia bisa melangkah lurus menuju keadilan, kesejahteraan, dan martabat yang kita impikan bersama.