Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia,
Anggota Majelis Tinggi Partai X,
Wakil Direktur Sekolah Negarawan
Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian di Indonesia sedang berada pada titik yang mengkhawatirkan. Ketidakpuasan itu tidak hanya terdengar dalam obrolan warung kopi atau thread media sosial, tetapi juga meluap dalam bentuk aksi publik dan ekspresi budaya. Salah satu yang paling mencolok adalah viralnya lagu “Bayar Bayar Bayar” dari duo punk Sukatani, yang secara gamblang menyinggung praktik pungli dan permintaan “uang pelicin” oleh oknum polisi. Ironisnya, lagu tersebut akhirnya ditarik dan disertai permintaan maaf kepada institusi Polri—sebuah tindakan yang justru menguatkan kesan bahwa kritik warga lebih sering dijawab dengan tekanan, bukan perbaikan.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie. Di atas kertas, mandat komisi ini terlihat serius dan menjanjikan: menata ulang struktur, budaya, dan tata kelola Polri. Namun, selama kesadaran fundamental bahwa rakyat adalah majikan dan polisi adalah pegawai publik belum tertanam, seluruh agenda reformasi itu berisiko tidak lebih dari sekadar retorika administratif—hiasan yang menutup luka, bukan mengobatinya.
Rakyat adalah Pemilik Kedaulatan, Bukan Objek Kekuasaan
Konstitusi Indonesia menegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dengan demikian, semua institusi negara—termasuk Polri—adalah alat milik rakyat, bukan pemegang otoritas yang berdiri di atas rakyat. Gaji polisi dibayar dari pajak, dan pajak berasal dari kerja jutaan warga yang menghidupi negara.
Dalam logika negara demokratis, rakyat adalah “atasan tertinggi”, sementara polisi adalah pelayan publik yang wajib melindungi, mengayomi, dan memastikan keadilan. Namun dalam praktiknya, relasi ini sering terbalik. Tidak sedikit warga yang merasa diperlakukan seolah mereka adalah pihak yang harus tunduk tanpa diskusi, bahkan ketika berhadapan dengan aparat yang diduga menyalahgunakan kewenangannya.
Dari Pungli hingga Panggilan Bernuansa Intimidasi
Pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa problem Polri bukan semata soal “oknum”. Ada pola yang berulang:
Fenomena ini semakin kentara ketika aksi protes nasional bertagar #IndonesiaGelap menyeruak, dengan tuntutan kuat agar Polri “dibersihkan”. Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bahkan menjadi semacam simbol kritik publik terhadap budaya pungli, kekerasan, dan minimnya akuntabilitas di tubuh Polri.
Yang lebih memprihatinkan, meski Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024 telah menegaskan bahwa pejabat publik tidak memiliki legal standing untuk melaporkan warga menggunakan pasal pencemaran nama baik di UU ITE, kasus-kasus pelaporan oleh pejabat publik nyatanya masih diterima. Ini menunjukkan adanya jurang lebar antara mandat reformasi dan praktik di lapangan.
Komisi Reformasi Polri: Perbaikan atau Sekadar Dekorasi?
Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri memang patut diapresiasi sebagai pengakuan bahwa ada persoalan serius dalam institusi kepolisian. Namun sejak awal muncul beberapa tanda tanya besar:
Tanpa perubahan persepsi mendasar—bahwa polisi adalah pelayan rakyat—reformasi hanya akan tampil sebagai slogan: manis di podium, tetapi tidak terasa di Kantor Polisi.
Mengapa Kesadaran Ini Penting?
Menuju Reformasi yang Substantif
Agar reformasi tidak berhenti menjadi isapan jempol, beberapa langkah mendasar perlu diambil:
Mengembalikan Hirarki yang Benar
Reformasi Polri mustahil diukur dari seberapa banyak rapat digelar atau berapa kali slogan “Presisi” diucapkan. Ukurannya hanya satu: apakah rakyat merasa lebih aman, lebih dihormati, dan lebih mudah memperoleh keadilan?
Selama polisi masih memandang rakyat sebagai objek kekuasaan, bukan sebagai majikan yang membayar gaji mereka, reformasi tidak akan pernah menyentuh akar. Ia akan tetap menjadi isapan jempol, sementara praktik pungli, intimidasi, dan kriminalisasi terus membayangi kehidupan warga.
Reformasi Polri yang sejati hanya lahir ketika kedaulatan rakyat benar-benar dipahami. Karena pada akhirnya, di hadapan rakyat, polisi bukan penguasa—melainkan pelayan publik yang wajib bertindak adil, transparan, dan bertanggung jawab.