Sekolah Negarawan lahir dari kesadaran sederhana: negara hanya alat, bukan penguasa. Dalam republik, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, sementara penyelenggara negara hanyalah pelayan publik. Namun selama puluhan tahun, struktur ketatanegaraan Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Negara berubah menjadi entitas dominan yang mengatur rakyat, bukan melayani mereka.
Kondisi ini pernah diingatkan oleh Bung Hatta:
“Negara tidak boleh menjadi alat kekuasaan golongan, ia harus menjadi alat kesejahteraan seluruh rakyat.”
Kesadaran inilah yang mendorong Sekolah Negarawan—digagas oleh Prayogi R. Saputra, Ph.D., dan Rinto Setiyawan, S.H.—untuk menyusun ulang desain ketatanegaraan Indonesia agar kembali selaras dengan jiwa Pembukaan UUD 1945.
Struktur Negara = Struktur Organisasi Perusahaan
Setiap perusahaan berdiri berdasarkan Akta Pendirian yang memuat Anggaran Dasar. Di dalamnya ditentukan:
Negara sebenarnya bekerja dengan logika yang sama.
Jika perusahaan tidak mungkin dipimpin oleh CEO tanpa kontrol pemegang saham, maka negara juga tidak boleh dipimpin oleh presiden yang berdiri di atas rakyat.
Di sinilah letak masalah besar pasca amandemen 1999–2002: struktur negara berubah sehingga presiden menjadi lebih dominan daripada MPR, dan rakyat kehilangan kendali langsung atas arah negara.
Rekonstruksi Negara: Menempatkan Rakyat Kembali sebagai Pemilik Sah
Sekolah Negarawan menawarkan struktur baru yang telah dirumuskan dengan pendekatan sosiologis, manajerial, dan konstitusional. Ciri utamanya adalah:
1. MPR sebagai Kepala Negara & Pemegang Mandat Rakyat
MPR kembali menjadi puncak otoritas negara, sebagaimana logika RUPS dalam perusahaan.
Karena dalam republik, pemilik negara (rakyat) harus menentukan arah perusahaan bernama Indonesia.
2. Presiden sebagai TKI-1, Tenaga Kerja Indonesia Nomor Satu
Presiden adalah direksi yang dipekerjakan, bukan pemilik perusahaan. Presiden disebut Kepala Pemerintahan, Ia wajib mempertanggungjawabkan seluruh kinerja dan keputusannya kepada MPR, bukan sebaliknya.
Cak Nun menggambarkannya dengan sangat tajam:
“Presiden itu outsourcing, buruh lima tahun. Buruh kok manggil-manggil bos? Rakyatlah majikannya.”
3. Filosofi Nusantara: Sedulur Papat Lima Pancer
Negara harus memiliki keseimbangan pilar:
yang semuanya bergerak mengelilingi pusatnya: rakyat.
Pemikiran ini sejalan dengan Mohammad Natsir:
“Demokrasi tanpa moral adalah tirani mayoritas.”
Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945 Telah Selesai
Sebuah langkah konstitusional telah dirumuskan:
Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945 dan Struktur Ketatanegaraan.
Isi dari rancangan ini mencakup:
Dokumen dapat diunduh melalui: https://ebook.sekolahnegarawan.id/
Sekolah Negarawan: Melahirkan Pelayan Publik, Bukan Pemburu Jabatan
Program ini bukan sekolah teori. Ia adalah akselerator kepemimpinan yang menggabungkan:
Peserta ditujukan untuk pengusaha muda, profesional, pemimpin komunitas, hingga aktivis yang ingin memperbaiki negara dengan sistem, bukan dengan retorika.
Kedaulatan Rakyat Harus Direbut Kembali Secara Sah dan Bermartabat
Bangsa ini berada di titik balik sejarah.
Demokrasi mudah berubah menjadi ilusi jika rakyat tidak lagi memegang kendali.
Bung Hatta telah memperingatkan:
“Indonesia merdeka bukan untuk melahirkan penguasa-penguasa baru.”
Sekolah Negarawan memulai perjuangan ini melalui pena dan pikiran, dua alat yang lebih kuat daripada demonstrasi.
Perubahan dimulai dari kesadaran:
Rakyat adalah pemilik negara. Pemerintah hanyalah pelayan mereka.
UUD adalah akta pendiriannya. Dan MPR adalah pemegang saham tertinggi.
Dengan mengembalikan logika negara seperti organisasi modern, Indonesia dapat benar-benar kembali menjadi republik—res publica, urusan publik, milik rakyat.