Wacana Amandemen Kelima UUD 1945 bukan sekadar proyek perubahan pasal-pasal konstitusi. Di balik gagasan ini, ada pertanyaan besar yang menyentuh inti bernegara: apakah negara ini masih benar-benar berjalan atas kedaulatan rakyat, atau justru semakin dikendalikan segelintir pejabat dan kekuatan modal? Amandemen Kelima diajukan sebagai upaya merapikan kembali bangunan ketatanegaraan agar lebih adil, lebih sehat, dan lebih setia pada semangat Proklamasi serta Pancasila.
1. Mengembalikan Kedaulatan Rakyat sebagai Kenyataan, Bukan Slogan
Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, Pasal 1 ayat (2) menyebut bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Rumusan ini menempatkan MPR sebagai pelaksana utama kedaulatan rakyat dalam format permusyawaratan yang khas Indonesia. Setelah Amandemen Ketiga, frasa “dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dihapus dan diganti menjadi “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Akibatnya, pelaksana kedaulatan menjadi tidak jelas. Dalam praktik, kekuasaan justru terkonsentrasi pada partai politik dan eksekutif. Pemilu langsung memang memberi kesan rakyat berdaulat, tetapi calon pemimpin tetap disaring dan ditentukan oleh partai. Rakyat seolah diberi kebebasan memilih, padahal pilihan sudah dibatasi sejak awal. Di sinilah Amandemen Kelima menjadi penting: untuk mengembalikan MPR sebagai mandataris rakyat yang komposisinya tidak hanya diisi kader partai, tetapi juga unsur intelektual, agama, TNI-Polri, budayawan, perwakilan adat, daerah, dan profesi. Dengan begitu, kedaulatan rakyat hadir secara lebih nyata dan berimbang.
2. Menyempurnakan Amanat Proklamasi Secara Sistemik
Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya menyatakan kemerdekaan, tetapi juga memerintahkan pemindahan kekuasaan “dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Secara formal, pengakuan kedaulatan memang sudah terjadi. Namun secara sistemik, tata kelola kekuasaan di dalam negeri masih menyisakan banyak persoalan: konsentrasi wewenang di tangan Presiden, lemahnya pengawasan, dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Amandemen Kelima diperlukan untuk menyempurnakan amanat Proklamasi dalam arti yang lebih dalam: memastikan bahwa kekuasaan tidak lagi menumpuk pada satu figur atau satu kelompok, tetapi dibagi, diawasi, dan dikoreksi melalui mekanisme kenegaraan yang sehat. Representasi kekuatan adat, kerajaan/keraton, dan unsur moral-kultural dalam MPR juga menjadi tanda bahwa negara ini berdiri di atas fondasi sejarah dan jati diri bangsa, bukan semata pada struktur politik modern.
3. Memisahkan dengan Tegas antara Negara dan Pemerintah
Selama ini, Presiden memegang dua peran sekaligus: Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam praktik organisasi modern, pemilik dan pelaksana seharusnya dipisah agar ada kontrol dan akuntabilitas. Ketika Presiden berperan ganda, muncul kesan bahwa pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus bertindak seolah-olah pemilik negara.
Amandemen Kelima menawarkan penataan baru: negara sebagai pemilik kedaulatan diwakili oleh MPR sebagai mandataris rakyat, sementara Presiden difokuskan sebagai kepala pemerintahan yang mengelola urusan sehari-hari negara. Dalam kerangka ini, tugas besar negara dapat diringkas menjadi tiga fungsi: melindungi rakyat, mengatur rakyat, dan melayani rakyat.
MPR dan lembaga tinggi negara lain berperan menjaga arah dan melindungi kedaulatan rakyat, sedangkan Presiden dan kabinet bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan secara efektif dan transparan. Pemisahan ini memperkuat mekanisme check and balance, serta mencegah konsentrasi kekuasaan berlebihan pada satu tangan.
4. Menghidupkan Kembali Pancasila sebagai Dasar Bertindak, Bukan Sekadar Simbol
Banyak kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang lahir setelah rangkaian amandemen justru dipersepsikan menjauh dari semangat Pancasila: keadilan sosial melemah, gotong royong tergeser oleh logika transaksional, dan persatuan kerap dikorbankan demi kepentingan kelompok. MPR yang sebelumnya menjadi lembaga tertinggi negara dan penjaga arah ideologis bangsa, posisinya diturunkan sehingga daya kontrol konstitusional terhadap kebijakan negara ikut melemah.
Amandemen Kelima penting untuk mengembalikan Pancasila sebagai rujukan utama penyusunan kebijakan dan perundang-undangan. Setiap produk hukum dan kebijakan publik harus diuji kesesuaiannya dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Tujuannya jelas: hukum tidak lagi menjadi alat pembenaran bagi kepentingan sempit, melainkan instrumen keadilan yang melindungi rakyat; ekonomi tidak lagi hanya menguntungkan segelintir elite, tetapi menghadirkan kesejahteraan yang dirasakan luas oleh warga negara.
Penutup
Pentingnya Amandemen Kelima UUD 1945 terletak pada keberanian untuk mengakui bahwa desain ketatanegaraan kita hari ini memiliki kelemahan mendasar: kedaulatan rakyat mengabur, kekuasaan terkonsentrasi, dan Pancasila sering hanya hadir di ruang seremonial. Amandemen Kelima bukan ajakan kembali ke masa lalu, melainkan usaha menata ulang bangunan negara agar lebih sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan nilai-nilai Pancasila.
Dengan menguatkan MPR sebagai mandataris rakyat, memisahkan negara dan pemerintah secara tegas, serta mengembalikan Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara yang nyata, Amandemen Kelima menjadi salah satu jalan untuk memastikan bahwa republik ini benar-benar berjalan atas nama dan untuk kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.
File Naskah Akademik dan Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945, telah dipersembahkan dari Sekolah Negarawan kepada seluruh rakyat Indonenesia.
Dokumen tersebut dapat diunduh melalui: https://ebook.sekolahnegarawan.id/