Indonesia ini sering dibilang “kolam susu”, tanah surga yang kaya raya. Bahkan Kemenkeu bilang, nilai kekayaan alam kita bisa tembus 200.000 ribu triliun. Angka yang bikin geleng-geleng kepala. Tapi pertanyaannya: kalau memang segitu kayanya, kenapa rakyat masih harus jungkir balik bayar pajak, harga barang naik, dan hidup makin susah?
Di sisi lain, kita lihat cerita Pertamina. Sebagai BUMN, mestinya jadi tameng rakyat dalam soal energi. Tapi faktanya? SPBU Shell banyak tutup, Vivo dan BP kabarnya ogah ambil base fuel dari Pertamina gara-gara ada kandungan etanol. Aneh kan? Bukannya jadi contoh dan dipercaya dunia, malah menimbulkan tanda tanya.
Jadi seolah-olah negeri ini terus-terusan mengeruk alam tanpa henti, tapi hasilnya nggak pernah benar-benar balik ke rakyat. Kaya di atas kertas, tapi miskin di kehidupan nyata. Negara yang katanya melindungi, malah terasa seperti menekan.
Kalau terus begini, istilah “Indonesia kolam susu” bisa-bisa cuma jadi omon-omon buat generasi berikutnya.
Ketika kekayaan alam yang harusnya jadi berkah, malah berubah jadi musibah buat rakyat. Lihat aja Tumpang Pitu di Banyuwangi. Katanya emas melimpah, tapi warga sekitar justru harus berhadapan dengan kerusakan lingkungan, air yang tercemar, dan lahan hidup yang hilang. Emasnya lari ke perusahaan, sementara masyarakat cuma dapat debu dan konflik.
Atau Freeport di Papua. Puluhan tahun emas, tembaga, dan mineral berharga dikeruk habis-habisan. Nilainya triliunan dolar. Tapi coba bandingkan dengan kondisi rakyat Papua sendiri: masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, jauh dari kata sejahtera. Jalan, sekolah, fasilitas kesehatan? Jauh panggang dari api.
Alam digali tanpa henti, tapi rakyat yang mestinya jadi pemilik sah, malah dapat buntutnya: banjir, longsor, konflik sosial, kemiskinan, sampai pajak yang makin mencekik. Negara yang katanya “mengelola untuk kesejahteraan rakyat” jadi terasa seperti janji kosong.
Apa yang kita lihat hari ini sebenarnya bukan sekadar eksploitasi alam. Ini pengkhianatan paling kejam karena yang dijual bukan hanya hutan tambang atau minyak tapi juga masa depan anak cucu kita. Alam yang seharusnya jadi warisan justru dihabiskan demi keuntungan segelintir orang.
Ironisnya kalau kita lihat klasemen korupsi di negeri ini posisi teratas justru diisi oleh perusahaan dan sektor yang mengelola sumber daya alam. Dari Pertamina PT Timah hingga kasus Freeport dan perkebunan sawit. Artinya bukan cuma alam yang dirampas tapi hasilnya pun dicuri lewat korupsi. Rakyat hanya dapat sisanya kerusakan lingkungan bencana dan kemiskinan.
Hari ini gunung digali laut ditambang hutan ditebangi. Esok yang diwariskan pada generasi mendatang hanyalah lubang lubang bekas tambang air tercemar tanah tandus dan utang negara yang menumpuk. Bukannya berkah justru penderitaan.
Kalau terus dibiarkan kita bukan lagi negara kolam susu. Anak cucu tidak mewarisi kejayaan, melainkan catatan kelam pengkhianatan.
Kerusakan alam sudah ada di depan mata. Bahkan, kerugian materi yang ditanggung rakyat pun tidak sedikit.
Yang lebih menyakitkan penegak hukum dan pemerintah seolah tutup mata. Perusahaan yang merusak lingkungan dibiarkan melenggang. Kasus korupsi di sektor sumber daya alam sering hanya jadi headline sesaat lalu hilang begitu saja. Hukum seakan tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Akhirnya rakyat jadi korban tiga kali. Pertama kehilangan lingkungan hidup yang sehat. Kedua harus menanggung biaya kerusakan yang mestinya dibayar oleh mereka yang merusak. Dan korban ketiga adalah rasa keadilan karena pemerintah dan aparat hukum yang seharusnya melindungi justru ikut rusak moralnya.
Padahal UUD 1945 sudah jelas melalui Pasal 33 mengatakan bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Jika yang terjadi justru sebaliknya maka artinya negara sedang mengkhianati rakyatnya sendiri yang notabene-nya adalah majikan mereka. Lebih parah lagi konstitusi yang seharusnya jadi sumber dari segala sumber hukum dibuat tak berdaya.
Jadi yang rusak bukan hanya alamnya tetapi juga pemerintahnya bahkan penegak hukumnya.
Semua masalah ini bersumber dari salah struktur ketatanegaraan. Selama ekosistem yang merugikan dibiarkan hidup, kerusakan akan terus berulang. Mau tidak mau harus ada langkah berani untuk memutus mata rantai itu.
Partai X menawarkan solusi dengan pemisahan yang tegas antara negara dan pemerintah. Negara adalah wadah kedaulatan rakyat, sedangkan pemerintah hanyalah pengelola. Dengan begitu, ketika pemerintah kolaps negara tetap berdiri kokoh karena rakyatlah pemilik sejati kedaulatan.
Kedaulatan rakyat ini hanya bisa dikembalikan melalui amandemen kelima UUD 1945. Inilah jalan untuk menegakkan kembali marwah konstitusi, agar alam dan kekayaan bangsa benar-benar dikelola untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir penguasa.
Namun syarat utama untuk mewujudkan amandemen kelima adalah persatuan dari empat pilar negara. Kaum intelektual yang memberi arah, tokoh agama yang menjaga moral, TNI Polri yang menjamin keamanan, serta para pelaku budaya yang mengakar di masyarakat. Hanya dengan musyawarah kenegarawanan dari empat pilar ini, jalan perubahan bisa benar benar terwujud.