beritax.id – Wakil Presiden Direktur PT Rintis Sejahtera, Suryono Hidayat, menyatakan pihaknya kini memproses 10 juta transaksi QRIS per hari. Angka ini dinilai melonjak drastis seiring pertumbuhan adopsi Quick Response Code Indonesian Standard di berbagai merchant.
Dalam peluncuran layanan tarik tunai tanpa kartu, ia mengungkap pengembangan sistem baru dengan kapasitas pemrosesan 20–30 juta transaksi per hari. Targetnya rampung pada kuartal ketiga 2025. Rintis juga tengah mengembangkan sistem pembayaran lintas negara atau QR cross-border.
Saat ini, QR cross-border sudah digunakan di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Target selanjutnya adalah India, China, dan Arab Saudi. “Kami mengikuti kerja sama G2G yang dibangun Bank Indonesia,” kata Suryono.
Bank Indonesia mencatat transaksi QRIS meningkat 170,1 persen sepanjang Januari 2025. Nilainya tembus Rp80,88 triliun dengan 790 juta transaksi dan 36 juta merchant. Namun, apakah angka fantastis ini berdampak nyata pada kesejahteraan rakyat?
Partai X: Rakyat Masih Sengsara, Teknologi Tidak Menjawab Masalah Dasar
Menanggapi geliat digitalisasi transaksi ini, Ketua Umum Partai X Erick Karya, menyampaikan keprihatinan. “Tugas pemerintah itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” ujarnya.
Menurut Erick, inovasi digital tidak salah, tapi arah kebijakan justru menyesatkan. “Kalau rakyat masih antre beli beras murah, lalu kenapa negara sibuk urus QR cross-border?” tanyanya. Partai X menilai pemerintah keliru membaca prioritas.
Partai X menggunakan analogi klasiknya: negara adalah bus, rakyat pemiliknya, dan pemerintah hanyalah sopir. Jika QRIS dan digitalisasi tak menyentuh kebutuhan pokok rakyat, berarti sopir salah jalur.
“Digitalisasi harusnya membuat hidup rakyat lebih mudah, bukan justru menjauh dari layanan dasar,” kritik Erick. Ia menyebut, QRIS sering dipaksakan di pasar tradisional, padahal pedagang masih sulit akses internet dan perbankan.
Partai X menilai digitalisasi transaksi telah menjadi ajang bisnis kekuasaan, bukan alat kesejahteraan rakyat. “Berapa petani yang terbantu dengan QR cross-border? Berapa nelayan yang naik kelas karena QRIS?” tanya Erick.
Rakyat tidak butuh dashboard statistik. Mereka butuh harga beras stabil, akses pendidikan, dan layanan kesehatan mudah. Menurut Partai X, teknologi tanpa keadilan hanya memperluas kesenjangan sosial.
Solusi: Digitalisasi Harus Berbasis Keadilan Sosial
Partai X mendesak agar digitalisasi diarahkan untuk menyelesaikan masalah ketimpangan layanan dan kemiskinan. “QRIS bisa tetap jalan, tapi jangan lupakan ATM pendidikan, dompet subsidi pangan, dan aplikasi pelayanan publik yang inklusif,” tegas Erick.
Ia meminta pemerintah dan otoritas moneter berhenti mengukur keberhasilan dengan jumlah merchant, tetapi mengukur dampak pada daya beli rakyat. “QRIS hebat di angka, tapi miskin di fungsi sosial,” katanya.
Digitalisasi harus dikembalikan pada tujuannya: melayani rakyat. Jika tidak, maka proyek-proyek seperti QR cross-border hanya jadi ilusi kemajuan. Erick menyatakan, “Kalau negara ini barak teknologi tapi rakyatnya tetap lapar, untuk siapa semua ini?”
Partai X menuntut agar kebijakan digital dibangun berdasarkan keadilan dan keberpihakan. “Negara digital harus tetap negara sosial,” pungkasnya.