Berita

Perang Iran–Israel dan Urgensi Visi Ketatanegaraan Baru: Menakar Gagasan Cak Nun
Berita Terbaru

Perang Iran–Israel dan Urgensi Visi Ketatanegaraan Baru: Menakar Gagasan Cak Nun

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Perang terbuka antara Iran dan Israel yang semakin memanas akhir-akhir ini tidak terjadi dalam ruang hampa sejarah. Jauh sebelum media arus utama membicarakan skenario besar ini, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) telah menyuarakan kekhawatiran dan ramalan geopolitik yang cukup tajam sejak tahun 2012. Dalam berbagai forum Maiyah, beliau menyampaikan bahwa akan tiba waktunya Iran diserang. Karena provokasi batin dan psikologi terhadap bangsa tersebut tidak berhasil, dan akhirnya penyerangan fisik secara militer menjadi pilihan terakhir.

Mengapa Iran? Menurut Cak Nun, ini bukan semata konflik politik atau kepentingan energi global. Ini soal ketakutan terhadap negara yang kuat secara spiritual dan struktural. Di tengah krisis peradaban yang serba horizontal dan tanpa arah, Cak Nun menyebut hanya ada dua negara yang mampu berdiri tegak: China dan Iran. Bukan karena kekuatan senjata, tetapi karena struktur ketatanegaraannya kokoh dan kepemimpinannya vertikal, dari langit ke bumi, dari Tuhan ke rakyat.

Iran, dalam kacamata Cak Nun, adalah negara yang mencoba mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam secara utuh ke dalam arsitektur negara. Meski penuh tantangan, sistem mereka memperlihatkan bahwa nilai spiritual bisa menjiwai sistem pemerintahan, bukan sekadar menjadi hiasan moral belaka.

Kenapa Israel (dan sekutunya) ingin menghancurkan Iran?

Karena Iran menjadi contoh yang hidup bahwa agama bisa menjadi tulang punggung negara. Ini sangat berbahaya bagi proyek-proyek hegemoni global yang sejak lama menjauhkan rakyat dunia dari nilai-nilai langit. Maka, tak heran jika adu domba Sunni-Syiah dipelihara, disusupi oleh narasi-narasi penuh racun dari "Yakjuj dan Makjuj" peradaban modern yang bertujuan melemahkan solidaritas umat dan mengoyak identitas bangsa-bangsa Islam.

Lalu, Apa Kaitannya dengan Indonesia?

Cak Nun tidak sekadar berbicara soal Iran atau China. Beliau sejatinya sedang menyampaikan bahwa Indonesia bisa menjadi kuat jika memiliki struktur ketatanegaraan yang benar, yang berakar pada nilai-nilai ilahiyah, spiritualitas, dan keadaban lokal. Beliau menyebut bahwa kelak akan datang raja (pemimpin) yang tidak dipilih berdasarkan trah atau oligarki, tetapi karena ia paling mengerti masalah dunia dan paling mampu membawa bangsanya mengantisipasi masa depan, termasuk perkembangan teknologi seperti AI dan disrupsi global lainnya.

Sayangnya, struktur ketatanegaraan Indonesia saat ini justru membiarkan rakyatnya tercerabut dari akar spiritualnya. Keadilan tidak punya alamat, kekuasaan hanya sibuk melayani dirinya sendiri, dan rakyat dipaksa bertahan di antara puing-puing birokrasi yang rapuh.

Konstitusi Langit dan Urgensi Perubahan

Cak Nun sering menyebut perlunya "konstitusi langit", sebuah panduan moral dan struktural yang mampu menata ulang bangunan negara dengan menyatukan ilmu, iman, dan kebijaksanaan sosial. Gagasan ini bukanlah mimpi utopis. Saya sendiri, sebagai murid spiritual dari gagasan-gagasan beliau, telah mencoba merumuskan struktur ketatanegaraan baru yang memisahkan lembaga negara dan lembaga pemerintah, serta mengembalikan kedaulatan rakyat secara nyata dalam tubuh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang utuh sebagai mandataris rakyat.

Menakar Gagasan Cak Nun

Sebagian orang sinis menyebut gagasan Cak Nun sebagai utopia. Tapi Iran menjadi bukti bahwa gagasan yang spiritual bisa diwujudkan dalam arsitektur politik. Kuncinya ada pada niat, keberanian, dan keikhlasan. Gagasan tanpa eksekutor akan mati di langit. Tapi jika ada generasi baru negarawan yang siap mengeksekusi visi ilahiyah ini, maka Indonesia tidak hanya selamat dari keterpurukan, tapi juga menjadi mercusuar peradaban di tengah dunia yang hancur karena ambisi kosong.

Penutup

Perang Iran-Israel adalah alarm keras bagi kita semua. Ini bukan sekadar perang antar negara, tapi perang antara dua model peradaban. Indonesia tidak boleh terus menjadi penonton. Kita harus segera membangun sistem kenegaraan yang berjiwa spiritual, berstruktur adil, dan berdaya tahan tinggi terhadap gempuran zaman.

Kini saatnya, kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita akan terus berjalan tanpa arah, ataukah kita mulai menyusun ulang cetak biru bangsa, berdasarkan konstitusi langit yang pernah dijanjikan oleh orang-orang seperti Cak Nun?