Berita

Perahu Cak Nun: Menyelamatkan Peradaban lewat Gagasan Ketatanegaraan
Berita Terbaru

Perahu Cak Nun: Menyelamatkan Peradaban lewat Gagasan Ketatanegaraan

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Di zaman Nabi Nuh, manusia dihadapkan pada ujian peradaban besar. Kehancuran bukan hanya berupa banjir air, tetapi banjir moral, banjir ketidakpercayaan, dan banjir sistem sosial yang melenceng jauh dari fitrah. Nabi Nuh menawarkan solusi yang tak masuk akal bagi logika manusia kala itu: sebuah perahu di tengah daratan kering. Sebagian besar menertawakan. Mereka yang naik ke perahu adalah yang yakin, bukan sekadar yang cerdas.

Hari ini, kita kembali hidup di era kebobrokan peradaban yang tak kalah mengerikan. Banjirnya bukan air, melainkan banjir kebohongan sistemik, korupsi terstruktur, ketidakadilan legal, dan krisis ketatanegaraan. Struktur negara kita pincang. Lembaga-lembaga tinggi negara kehilangan ruh. Rakyat kehilangan arah dan harapan. Agama terpinggirkan, budaya tercerabut, hukum diperdagangkan, dan kekuasaan menjadi komoditas. Kita tidak sedang hidup di negara gagal, kita sedang berada dalam bangunan negara yang salah desain.

Dan dalam situasi semacam ini, Cak Nun datang membawa perahu.

Bukan perahu fisik, tapi gagasan. Bukan sekadar narasi spiritual, tapi visi ketatanegaraan alternatif yang berasal dari frekuensi langit, yang ia sebut sebagai Konstitusi Langit. Sebuah ide tentang negara yang dibangun dengan struktur nilai, bukan hanya struktur kekuasaan. Gagasan Cak Nun adalah peta jalan untuk memanusiakan negara, bukan sekadar memodernisasi sistem.

Dalam banyak kesempatan, Cak Nun bicara tentang perlunya transformasi ketatanegaraan. Bukan tambal sulam. Bukan revisi per pasal. Tapi perubahan dari akar, mulai dari pengembalian mandat rakyat secara utuh, penguatan struktur vertikal-transendental antara rakyat dan pemimpin, serta penataan ulang fungsi lembaga tinggi negara.

Di saat sebagian besar orang sibuk menyelamatkan kursi dan karier, Cak Nun justru menyusun konsep tentang bagaimana menyelamatkan ruh bangsa.

Mereka yang Naik ke Perahu

Namun seperti di zaman Nabi Nuh, tidak semua orang percaya pada perahu Cak Nun. Gagasan-gagasannya dianggap tidak realistis, terlalu utopis, bahkan mengada-ada. Banyak yang lebih nyaman tertawa di daratan sistem lama, meski mereka sadar air sudah sampai dada. Dan seperti sejarah mencatat, air akan terus naik, dan hanya mereka yang naik ke perahu-lah yang akan selamat.

Naik ke “Perahu Cak Nun” bukan berarti memuja figur beliau, tetapi menjadi eksekutor gagasan beliau dengan sungguh-sungguh. Butuh ketenanan (kesungguhan spiritual), kontinuitas, dan keberanian melawan arus. Mmebutuhkan siddiq agar jujur menangkap frekuensi langit. Butuh amanah agar tidak mengkhianati tugas sejarah. Butuh tabligh agar pesan langit tersampaikan. Dan butuh fathanah agar ide-ide besar bisa diterjemahkan menjadi rancangan institusi dan perubahan struktural.

Saya meyakini, gagasan ketatanegaraan Cak Nun bukan omong kosong. Saya telah menyusun cetak birunya, mendasarkan pada nilai-nilai beliau, dengan logika manajemen kenegaraan modern. Dimana saya menyebutnya “Desain Ketatanegaraan Baru Indonesia,” dan gagasan beliau sedang kami perjuangkan, sedikit demi sedikit, dengan langkah-langkah legal dan sistemik.

Bangsa Ini Butuh Perahu

Jika Indonesia ingin selamat dari bencana moral, ekonomi, sosial, dan politik yang sudah mengintai, maka perlu ada kendaraan penyelamat. Perlu ada arsitektur negara yang baru. Perlu ada kemauan untuk naik ke perahu, meskipun itu berarti meninggalkan daratan ketidakbenaran yang selama ini kita anggap sebagai rumah.

Bagi saya, Perahu Cak Nun adalah simbol keberanian melawan zaman. Dan setiap peradaban besar dibangun oleh sedikit orang yang berani mendayung lebih dulu.

Maka hari ini, saya menyeru:

Naiklah ke perahu ini. Mari kita selamatkan bangsa ini, dengan nilai, dengan gagasan, dan dengan tindakan.