beritax.id – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk mengecualikan jurnalis, akademisi, hingga pelaku seni dari larangan pengungkapan data pribadi. Permintaan itu dimohonkan koalisi masyarakat sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) yang terdiri atas LBH Pers, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), AJI Indonesia, SAFEnet, akademisi, serta pegiat seni. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam SIKAP menggugat Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP.
Gugatan ini diajukan karena norma tersebut dinilai mengancam kebebasan pers, akademik, dan ekspresi kesenian.
Direktur LBH Pers, Mustafa, menyebut kedua pasal tersebut terlalu luas dan berpotensi menjerat siapa pun secara semena-mena. Ia menekankan bahwa jurnalis dan seniman bisa terjerat pidana hanya karena mengungkap data pribadi tanpa melihat konteks niat atau tujuan.
Menurut SIKAP, ketentuan ini membuka ruang kriminalisasi bagi mereka yang mengkritik pejabat atau mengungkap kejahatan publik. Mereka menuntut agar Mahkamah Konstitusi memberikan pengecualian khusus untuk jurnalis, akademisi, dan seniman dalam konteks kerja profesional mereka.
Partai X: Ini Regulasi Bungkam, Bukan Lindungi!
Menanggapi gugatan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menilai UU PDP telah menyimpang dari semangat perlindungan warga menuju pelindung penguasa kekuasaan.
“UU ini justru menciptakan ketakutan di kalangan jurnalis dan akademisi yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi,” kata Rinto. Ia mengingatkan bahwa tugas negara itu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat, bukan melindungi aib penguasa.
Rinto menyebut, pasal-pasal dalam UU PDP ini bisa digunakan untuk mempidanakan investigasi, karya seni, maupun kritik berbasis data. “Ini bukan perlindungan data pribadi, tapi perlindungan kekuasaan dari pengawasan publik,” tegasnya.
Partai X berpegang pada prinsip bahwa demokrasi sejati hanya dapat hidup jika informasi publik dapat diakses dan disebarkan. UU PDP seharusnya melindungi warga dari penyalahgunaan data, bukan malah melindungi penguasa dari transparansi.
Pejabat publik tidak bisa disamakan dengan warga biasa dalam hal perlindungan data. Informasi mereka, sepanjang menyangkut kepentingan publik, harus terbuka. Jika tidak, maka kekuasaan akan bebas dari pengawasan dan potensi penyalahgunaan meningkat.
Solusi Partai X: Revisi UU PDP dengan Pengecualian Jelas
Partai X mendorong revisi UU PDP dengan memasukkan klausul pengecualian yang melindungi profesi jurnalis, akademisi, dan seniman. Pasal-pasal karet seperti Pasal 65 dan 67 harus ditinjau ulang agar tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusi.
Partai X juga mendesak pembentukan lembaga pengawas independen yang melibatkan masyarakat sipil. Lembaga ini bertugas memastikan UU PDP digunakan untuk kepentingan perlindungan warga, bukan alat represi kekuasaan.
Menurut Partai X, penggunaan pidana dalam konteks data pribadi harus sangat hati-hati. Tanpa pengecualian khusus, kerja jurnalistik dan akademik bisa lumpuh. Negara harus menjadi pelindung kemerdekaan berpikir, bukan penghukum terhadap suara kritis.
Rinto menyatakan bahwa UU PDP harus diluruskan agar tidak menjadi warisan otoritarianisme baru dalam bungkus digital. “Kalau kritik terhadap kekuasaan bisa dipenjara karena dianggap ‘melanggar data’, maka kita sedang mundur jauh dari demokrasi,” ujarnya.
Partai X menegaskan bahwa regulasi harus berpihak kepada rakyat. Kebijakan digital pun harus mencerminkan kebebasan, keadilan, dan akuntabilitas. Jika UU PDP tetap dipertahankan tanpa pengecualian, maka negara sedang menciptakan senjata hukum untuk membungkam warga.