Berita

Nama Partai Kok ‘X’?
Berita Terbaru

Nama Partai Kok ‘X’?

Di dalam rumah beratap rumbia. Hijaunya sawah dan angin sepoi-sepoi menjadi latar tempat antara anak dan bapak yang sedang berbincang. Sesekali Bapak menghisap cerutunya. Sembari, membiarkan sapuan angin memanja lembut kulit sawo matangnya.

Sementara, duduk disampingnya anak mudanya yang penuh semangat. Dengan mata berbinar tapi penuh tanda tanya, si anak tetiba melontarkan pertanyaan. Celetukkannya menjadi pemantik dialog tentang partai dalam pandangan dua generasi yang berbeda. Dari percakapan sederhana di bawah rumbia itu, terbentanglah gagasan tentang kebaikan bersama

“Mendirikan partai itu boleh nopo mboten sih Pak dalam agama?” tanya si Anak kepada Bapaknya.

“Boleh,” jawab sang Bapak.

Si Anak memutar bola matanya. Berselancar bersama memorinya tentang narasi partai politik yang beredar di zaman sekarang. Terlalu mengganjal di pikiran. Pergulatan antara pertanyaan etis dan hukum agamis dalam menciptakan entitas politik masih memenuhi isi kepalanya.

“Kalau tujuan mendirikan Partai buat kepentingan sendiri, kelompoknya, dan tidak memikirkan masyarakat yang lain dosa apa nggak?” tanya si Anak lagi.

“Tergantung..”

Dia masih berusaha merefleksi jawaban Bapaknya. Namun tak kunjung ketemu maksudnya. Dia merasa tahu betul kalau tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Jawaban yang diberikan Bapak tidak dengan tegas mengatakan haram. Padahal, itu yang ingin didengarnya. Bagaimana bisa bapaknya bersekutu dan membuat dia kebingungan.

Rasanya tidak ada dalil yang menghalalkan suatu kedzaliman. Anak itu yakin betul. Narasi partai yang selama ini ia temui mengarah ke hal itu. Tapi, bisa-bisanya Bapak mengatakan kalimat yang out of the box seperti itu.

Dia pun kembali bertanya dengan mendesak, “Kok tergantung sih. Dosa nopo mboten, Pak?”

“Bapak bukan staff Tuhan. Jadi tidak bisa memastikan dosa apa nggak

Bapak hanya manusia biasa. Sehingga baginya, tidak pantas menilai perbuatan seseorang hanya dengan narasi yang beredar. Melihat bocoran nilai malaikat Raqib dan Atid juga tidak bisa dia lakukan.

Ini juga bagian dari pengakuan Bapak akan keterbatasan manusia dalam menilai dosa atau kebaikan secara mutlak. Kita memang dapat mengenali tindakan yang etis atau tidak. Tapi penilaian akhir tentang dosa atau kebaikan mutlat di tangan Yang Maha Kuasa. Jadi, bagaimana bisa manusia menjadi yang Maha Benar.

 “Ah Bapak ini. Ndak asyik diajak bicara,” rajuk si Anak.

Melihat ekspresi putra kesayangannya cemberut, Bapak mencoba menjelaskan bahwa menurutnya setiap orang maupun kelompok pasti memiliki alasan dalam mendirikan partai. Sehingga tidak bisa dihakimi secara sepihak. Namun, Bapak dengan bijaksana mengatakan bahwa alasan itu harus didasarkan pada tujuan kebaikan untuk kepentingan bersama.

“Begini Nak. Setiap orang, kelompok, komunitas, atau apapun itu yang mendirikan sesuatu entah perkumpulan tukang becak, komunitas bernama Agus, atau partai politik sekalipun pasti punya tujuan. Tujuannya ya yang baik, mulia, dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat umum. Bahkan, Tuhan pasti mencatatnya di kolom pahala karena ada niat kebaikan,” jelas Bapak.

“Hanya niat saja sudah berpahala?”

“Iya. Itulah kemuliaan Tuhan…”

Mendengar itu, Anak merasa lega dan bersyukur. “Alhamdulillaaaaaah..” ucapnya.

Bapak pun dibuat penasaran mengapa anaknya mendadak melontarkan pertanyaan seperti itu. Bapak pun membalikkan pertanyaannya.

“Memang kamu mau bikin partai politik?” tanya Bapak.

Injih Pak. Namanya Partai X..”

Lah.. kok nama partainya aneh,” timpal Bapak dengan mengerutkan dahinya.

“Memang sengaja dibuat aneh. Supaya menjadi aneh sepanjang zaman. Kalau pakai nama umum nanti menjadi tidak aneh,”

Emang apa visi misinya?”

“Menuju Indonesia adil dan hebat”

“Haduh..”

“Kok haduh sih Pak?!” ucap si Anak yang tidak terima.

Wajar jika Bapak pun meragukan perkataan anaknya. Apalagi di zaman sekarang. Bapak sudah tumbuh dan besar dengan berbagai parpol beserta tetek-bengek-nya. Di tambah lagi, tujuan partai yang ingin dicapai anaknya bukan hal baru yang didengar olehnya. Tapi ya begitulah adanya.

“Itu kalimat klise. Umum banget!! Memang kamu yakin bisa mencapai adil dan apalagi hebat?”

“Tadi kata Bapak, Tuhan bakal mencatat niat kami di kolom pahala.”

“Iya memang… Tapi kamu punya tujuan apa bikin partai di zaman edan koyo ngene?”

“Mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

“Keren…. Lalu?” kata Bapak sambil mengangkat jempolnya.

“Menjadi kekuatan yang inklusif, serta mendorong semangat gotong royong dalam upaya mencapai visi keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Ojo duwur-duwur. Mengko kesamplok pesawat lho. Ada lagi tujuannya?”

“Ada Pak.. Membentuk identitas partai yang menekankan pada kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai landasan utama dalam pembangunan bangsa.”

Nek meh koyo ngono. Terus, tugas partai X ini apa?”

“Menyusun kebijakan dan program-program partai yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila serta prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.”

“Berarti pengurus partai X ini dijamin Pancasilais?”

“Insyaallah Bro eh Pak..”

Menurut KBBI, Pancasilais berarti penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia.  Pancasilais juga diartikan sebagai pemimpin yang selalu mengamalkan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Bukan hanya sekadar hafal Pancasila. Tindak tanduknya setiap hari harus berpijak pada Pancasila.

Kalau kata Mbah Nun, wajib menghindari pola “like and dislike”. Melainkan, berpandangan adil terhadap sisi positif maupun negatifnya. Alias, tidak melakukan keberpihakkan pada kaum atau golongan tertentu. Ada pula yang mengatakan jika Pancasilais merupakan perwujudan reformasi birokrasi.

“Terus apa lagi?”

“Tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa tindakan dan kebijakan yang diambil selalu berpijak pada nilai-nilai kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.”

“Coba lihat kakimu. Kowe menginjak bumi apa nggak ini?”

“Ya menginjak lah Pak”

“Lalu yang ketiga, Partai X Bersikap progresif dan visioner dalam menghadapi perubahan zaman,dengan mempertahankan konsistensi terhadap nilai-nilai Pancasila untuk mencapai keadilan sosial,” lanjutnya.

Wis cukup! Cukup!”

“Masih ada satu lagi Pak. Melaksanakan visi dan misi partai melalui program-program yang terukur dalam upaya menegakkan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, kolaborasi antar generasi, pemerintahan efektif, dan efisiensi tata kelola pemerintahan.”

“Iyo, iyo… Wis… Monggo… Terserah,” jawab Bapak sambil garuk-garuk kepala.

“Bapak kok kelihatan tidak yakin dengan misi ini sih. Kami ini punya tekat bulat. Mengabdi kepada kebaikan bersama. Ikhtiar luar dalam lho Pak...”

“Bapak senang Nak. Senang. Kalau Bapak cukup umur akan mendaftar sebagai anggota. Hanya hanya..” Bapak menghentikan kalimatnya.

 

Oleh: Ahmad Syakurun Muzakki