beritax.id - Sudah lebih dari dua dekade, Maiyah berdiri sebagai oase spiritual dan intelektual di tengah keringnya peradaban bangsa yang kehilangan arah. Cak Nun, sosok sentral gerakan ini, bukan hanya menyampaikan narasi ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi juga merintis jalur-jalur baru tentang bagaimana seharusnya sebuah negara dijalankan. Bagi banyak orang, Cak Nun adalah penyair, budayawan, dan pembimbing ruhani. Namun bagi sebagian kecil yang menangkap frekuensi ilahiyah beliau, Cak Nun adalah arsitek besar struktur ketatanegaraan masa depan. Dalam sebuah pernyataannya di forum Maiyah Kenduri Cinta tahun 2023, Cak Nun berkata bahwa ke depan akan ada perubahan struktur ketatanegaraan, dan “Maiyah akan menjadi pasukan di jantung itu.”
Pernyataan ini bukan metafora kosong. Ia adalah panggilan bagi kita semua, khususnya para pegiat Maiyah, untuk bersiap mengambil peran historis.
Selama ini, banyak yang melihat Maiyah hanya sebagai forum pengajian kreatif, tempat diskusi spiritual dan budaya. Namun hakikat Maiyah lebih dalam dari itu. Maiyah adalah laboratorium kesadaran, tempat ide-ide besar tentang bangsa, masyarakat, dan ketuhanan diuji dan dimurnikan. Dan kini, setelah bertahun-tahun membentuk manusia dengan ruh dan akal yang merdeka, Maiyah memasuki fase baru: fase eksekusi gagasan kenegaraan.
Cak Nun berkali-kali menegaskan bahwa bangsa ini tidak cukup hanya dengan mengganti pemimpin atau membuat regulasi baru. Yang dibutuhkan adalah re-desain total tata negara, sistem yang mengembalikan kedaulatan kepada rakyat seutuhnya, bukan hanya dalam retorika, tapi dalam struktur dan distribusi kekuasaan yang nyata.
Visi beliau tidak sekadar mengoreksi undang-undang atau menambal sistem yang korup, melainkan membangun “konstitusi langit”: suatu sistem yang diturunkan dari nilai-nilai ilahiyah, melalui manusia-manusia yang bersih hati dan bening akalnya. Negara seperti ini hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang tenanan atau sungguh-sungguh. Seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad melalui sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Mengapa Maiyah disebut sebagai pasukan di jantungnya?
Karena Maiyah bukan barisan tukang sorak, bukan barisan pemburu kekuasaan, tapi pasukan kesadaran. Mereka yang hadir dalam Maiyah dibentuk untuk berpikir bebas, menyelami makna terdalam kehidupan, dan mencari kebenaran bukan dengan emosi, tapi dengan ilmu dan laku.
Mereka telah dilatih selama bertahun-tahun untuk menjadi manusia yang stabil , seperti trafo spiritual yang mampu menangkap tegangan tinggi ide-ide langit, menurunkannya ke voltase yang bisa diterapkan dalam realitas sosial dan politik.
Kini saatnya para pegiat Maiyah tidak hanya mendengarkan dan menyimak, tetapi mulai menulis, merancang, membangun, dan mengeksekusi. Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Negara ini sudah sakit: struktur ketatanegaraannya rapuh, hukum berjalan timpang, pejabat sibuk mempertahankan kemapanan dalam ketidakbenaran.
Kita butuh arsitek dan kontraktor sejati. Dan Maiyah telah menyiapkan manusianya. Tugas kita sekarang adalah menyatukan barisan, memperkuat basis pengetahuan, dan merumuskan langkah konkret untuk menjelmakan “konstitusi langit” dalam bentuk undang-undang dan institusi negara.
Maiyah bukan sekadar tempat sambat, tetapi rumah besar bagi pasukan ruhani dan intelektual bangsa. Kini, sebagaimana jantung memompa darah ke seluruh tubuh, Maiyah harus menjadi pusat denyut transformasi negara. Kita adalah pasukan itu. Dan ini bukan tentang siapa yang paling pandai berbicara, tapi siapa yang paling tulus dan konsisten menjalankan amanah perubahan.