Berita

Ketika Negara Disandera Kartel Kejahatan Politik: Enam Jalan Mengembalikan Kedaulatan Rakyat
Berita Terbaru

Ketika Negara Disandera Kartel Kejahatan Politik: Enam Jalan Mengembalikan Kedaulatan Rakyat

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Kedaulatan rakyat adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dibuktikan. Di atas kertas, Indonesia adalah negara demokrasi yang berpijak pada kedaulatan rakyat. Namun dalam praktik, kita menyaksikan sesuatu yang lain: keputusan-keputusan besar negara lebih sering lahir dari ruang tertutup elite, dari transaksi partai, dari kepentingan jangka pendek kekuasaan, bukan dari musyawarah yang sungguh-sungguh berangkat dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Inilah konteks yang melahirkan gagasan enam opsi jalan perubahan yang digagas Sekolah Negarawan. Bukan sebagai ajakan anarkis, bukan pula romantisme revolusi, tetapi sebagai peta jalan konseptual: jika kita sungguh ingin mengembalikan kedaulatan rakyat, jalur apa saja yang secara logis mungkin terbuka?

Menariknya, di balik enam opsi yang tampak sangat beragam dari Dekrit Presiden sampai kudeta militerada satu benang merah yang sangat jelas: tujuan tahap pertamanya hanya satu, yaitu pembubaran seluruh anggota DPR, MPR, dan partai politik, bukan pembubaran lembaganya. Yang hendak “di-reset” adalah orang dan kartelnya, bukan institusinya. Lembaga DPR dan MPR tetap diakui sebagai organ kenegaraan, tetapi diisi ulang melalui arsitektur baru yang lebih setia pada kedaulatan rakyat.

Dengan perspektif itu, bahkan opsi paling ekstrem sekalipun  kudeta militer diposisikan bukan sebagai glorifikasi kekerasan, tetapi sebagai batas paling ujung dari spektrum kemungkinan, dengan hasil yang tetap sama: membuka ruang transisi untuk membongkar cengkeraman Kartel Kejahatan Politik atas negara.

Dekrit, Konvensi, Referendum: Top–Down, Elit–Bottom–Up, dan Murni Rakyat

Opsi pertama, Dekrit Presiden, adalah jalur top–down yang sangat bergantung pada keberanian dan integritas satu figur di puncak eksekutif. Presiden menggunakan legitimasi politik dan moralnya untuk membubarkan anggota parlemen dan partai, lalu menginisiasi Musyawarah Kenegarawanan Nasional, yang akan membentuk Dewan Negara sebagai otoritas transisi. Dari sana, lahir Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), kemudian MPR definitif yang mengawal amandemen kelima UUD 1945 dan menyusun Ketetapan MPR (TAP MPR).

Secara hukum dan politik, ini jalan yang sangat drastis, tetapi tetap menempatkan perubahan dalam kerangka negara yang utuh. Masalahnya sederhana: beranikah seorang Presiden yang diusung dan dikelilingi Kartel Kejahatan Politik memotong “dahan” yang menopang kekuasaannya sendiri?

Opsi kedua, Konvensi Nasional, menggeser motor perubahan ke ruang elite masyarakat sipil: tokoh bangsa, mahasiswa, ormas, dan empat pilar utama—cendekiawan, rohaniawan, budayawan, serta TNI/Polri. Di sini, inisiatif dimulai dari Maklumat Dewan Inisiator, disusul pembentukan Panitia Konvensi, lalu Musyawarah Kenegarawanan Nasional yang melahirkan Dewan Negara, MPR Sementara, hingga MPR definitif, Amandemen UUD 1945, TAP MPR, hingga Pemilu.

Ini jalur yang menggabungkan kekuatan moral dan intelektual bangsa, sekaligus memberi ruang terhormat bagi militer sebagai bagian dari solusi, bukan penguasa tunggal. Namun tetap saja, ia membutuhkan kesediaan elite untuk mengakui kegagalan desain (kejahatan) politik yang selama ini menguntungkan mereka sendiri.

Opsi ketiga, Referendum Rakyat, adalah jalur yang paling jujur terhadap makna kedaulatan rakyat: bottom–up murni. Rakyat diajak menjawab pertanyaan terbuka, bukan sekadar memilih figur: apakah setuju diadakan Musyawarah Kenegarawanan Nasional, dibentuk Dewan Negara, hingga dilakukan amandemen kelima UUD 1945.
Secara positif, ini adalah puncak legitimasi moral dan politik. Namun secara teknis, kita berhadapan dengan fakta pahit: TAP MPR tentang Referendum sudah dicabut. Meski secara moral tetap sah berdasar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, secara prosedural jalur ini menuntut kecerdikan gerakan rakyat untuk mendesain mekanisme referendum de facto yang kredibel, transparan, dan tak mudah dimanipulasi. Ini bisa dilakukan dengan bantuan Teknologi Informasi yang bisa dinamakan Referendum Rakyat Digital.

Parlemen, People Power, dan Kudeta: Antara Harapan dan Bahaya

Opsi keempat, perubahan via parlemen, adalah jalur yang paling “rapi” dari sudut pandang tata negara: DPR/MPR sendiri yang menginisiasi Musyawarah Kenegarawanan Nasional, Dewan Negara, dan Amandemen Kelima. Secara teoritis, inilah jalan yang paling mulus. Secara politis, inilah jalan yang paling buntu.
Sebab, DPR/MPR yang sekarang adalah bagian dari persoalan legitimasi yang hendak diselesaikan. Mengharap mereka menjadi pintu masuk perubahan sama saja berharap pemain utama kartel bersedia membongkar kartel yang memberi mereka privilese. Bisa terjadi jika tekanan publik masif, tetapi itu berarti kita kembali ke faktor rakyat sebagai motor utama.

Di sinilah opsi kelima, Revolusi Massa (People Power), masuk sebagai realitas sejarah yang tak bisa diabaikan. Indonesia sudah pernah menjatuhkan rezim lewat gelombang massa. Dalam skema enam opsi ini, people power dipetakan sebagai tekanan rakyat besar-besaran terhadap Istana atau Gedung DPR/MPR dengan dua target: memaksa Presiden mengeluarkan Dekrit, atau memaksa DPR/MPR mengambil inisiatif perubahan.
Secara efektivitas, opsi ini terbukti ampuh. Tetapi risikonya sangat besar: instabilitas, potensi kekerasan, dan konflik horizontal. People power tanpa desain kenegarawanan yang rapi mudah menjelma menjadi huru-hara yang justru membuka pintu bagi kekuatan lain untuk mencuri momentum, termasuk kekuatan bersenjata.

Opsi keenam, kudeta militer, adalah ujung spektrum: jalur extra–constitutional coercive. Militer mengambil alih, membubarkan anggota DPR/MPR dan partai, lalu membentuk Dewan Negara. Setelah itu, tahapan transisi mirip: MPR Sementara, MPR definitif, Amandemen UUD 1945, TAP MPR, hingga Pemilu.
Inilah opsi yang secara praktik paling cepat, tetapi secara prinsip paling berbahaya. Jika tidak dijaga ketat, ia dengan mudah menggantikan kedaulatan rakyat dengan kedaulatan senjata. Karena itu, menyebut opsi ini dalam kajian kenegarawanan bukan berarti mempromosikannya, tetapi justru untuk menegaskan: jika kita tidak serius menyiapkan jalur-jalur damai dan bermartabat, sejarah sering memaksa bangsa memilih jalan paling gelap.

Inti Semua Opsi: Membongkar Kartel, Bukan Membakar Negara

Di titik ini, penting menegaskan kembali satu hal pokok yang sering disalahpahami: enam opsi ini tidak sedang mengajak membubarkan negara, melainkan membongkar Kartel Kejahatan Politik yang menyandera negara.

Semua opsi bahkan yang paling ekstrem bermuara pada tahap awal yang sama:

  1. Pembubaran seluruh anggota DPR, MPR, dan partai politik (sebagai pelaku dan jaringan kartel), bukan pembubaran lembaga DPR dan MPR itu sendiri.

Setelah itu, tahapan yang diusulkan sangat sistematis:

  • Musyawarah Kenegarawanan Nasional,
  • pembentukan dan pelantikan Dewan Negara sebagai masa transisi,
  • konsultasi publik atau semi-referendum,
  • pembentukan MPR Sementara untuk mengesahkan Rancangan Amandemen kelima UUD 1945 menjadi UUD 1945 (Amandemen Kelima),
  • pembentukan MPR definitif,
  • penetapan TAP MPR,
  • pembubaran Dewan Negara,
  • pembentukan komisi pemilihan dan referendum nasional,
  • verifikasi partai politik dan kanal independen,
  • hingga Pemilu dan pelantikan dalam tatanan baru.

Dengan kata lain, enam opsi ini bukan peta jalan menuju kekacauan, tetapi desain transisi menuju kedaulatan rakyat yang lebih bersih dan terstruktur. Yang dirombak adalah “isi dan orbit” kekuasaan, bukan fondasi negara.

Kedaulatan Rakyat Bukan Hadiah, Melainkan Hak yang Harus Diambil

Pada akhirnya, perdebatan tentang enam opsi ini membawa kita pada satu kesadaran paling penting: kedaulatan rakyat tidak akan pernah turun dari langit sebagai hadiah penguasa. Ia selalu lahir dari keberanian rakyat untuk menuntut, menata, dan menjaga sendiri kedaulatannya.

Apakah jalur yang ditempuh nanti lebih dekat ke Dekrit Presiden, Konvensi Nasional, Referendum Rakyat, tekanan via parlemen, people power, kudeta militer, atau kombinasi kreatif di antara semuanya itu adalah wilayah pilihan politik dan strategi sejarah. Yang jauh lebih penting adalah kesadaran bersama bahwa:

  • struktur politik yang sekarang memusatkan kedaulatan di tangan kartel,
  • partai politik bukan lagi alat rakyat, tetapi gerbang akses kekuasaan yang eksklusif,
  • dan tanpa “operasi besar” terhadap desain ketatanegaraan, kedaulatan rakyat akan terus menjadi jargon kosong.

Enam opsi yang dipetakan Sekolah Negarawan sejatinya adalah undangan bagi rakyat untuk berani berpikir sampai ke akar: apakah kita akan terus menjadi penonton yang digiring lima tahun sekali ke TPS, atau mulai bertindak sebagai pemilik sah republik ini?

Kedaulatan rakyat baru sungguh pulih ketika rakyat berhenti merasa “diberi” ruang oleh penguasa, dan mulai menuntut ruang itu sebagai hak yang tidak bisa dinegosiasikan. Enam opsi ini hanyalah peta. Keputusan untuk berjalan atau tidak dan sejauh apa sepenuhnya ada di tangan rakyat yang mengaku sebagai pemilik negeri ini.